Kemarin, 31 Agustus 2020, melalui Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I, DPR dan pemerintah sepakat membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) ke Rapat Paripurna DPR hari ini. Adapun beberapa materi yang menjadi pokok-pokok perubahan dalam RUU MK ini, antara lain: (1) kenaikan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, dari 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun; (2) kenaikan syarat usia minimal hakim konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun; dan (3) masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu hingga usia 70 tahun.
Revisi UU MK memang perlu dilakukan, tetapi bukan revisi UU MK yang ada atau ditawarkan seperti saat ini. Sebab, poin-poin RUU MK yang diajukan DPR dinilai cacat prosedural, tidak substansial dan tidak relevan dengan perbaikan institusional yang diperlukan MK, serta sarat muatan politik. Pembentukan suatu UU seharusnya mengedepankan partisipasi publik sebagai sendi kedaulatan rakyat, negara hukum, dan konstitusionalisme. Namun dalam proses revisi UU MK, produk hukum tersebut diusulkan di masa darurat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dibahas dalam waktu yang sangat cepat, kilat dan tidak transparan. Semestinya, pada situasi seperti ini, DPR lebih fokus menangani permasalahan kesehatan masyarakat, bukan malah membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial. Perubahan-perubahan yang timbul secara tergesa-gesa dan terburu-buru ini disinyalir oleh masyarakat sipil, pemerhati hukum dan penulis sendiri sebagai alat barter politik agar MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, dan lain sebagainya.
Setelah berkutat dengan berbagai paparan negatif diatas, lantas apa urgensi yang sepantasnya diatur dalam Revisi UU MK saat ini? Melalui tulisan singkat ini, penulis secara tegas menolak disahkannya RUU MK selama RUU MK belum mengakomodasi beberapa poin di bawah ini:
RUU MK harus mampu menjawab kebutuhan penguatan kelembagaan dan kewenangan MK. Pertama, RUU MK wajib mengakomodasi perluasan wewenang MK dalam pengujian undang-undang demi menjamin, melindungi dan memulihkan hak konstitusional warga negara yang tercederai, seperti kewenangan untuk melakukan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dan pertanyaan konstitusional (constitutional question). Kedua, ketentuan mengenai perbaikan hukum acara MK sepatutnya diatur secara integral dan komprehensif dalam satu UU yang sama, yakni UU MK. Ketiga, RUU MK harus secara jelas mengatur mekanisme, tata cara dan standar seleksi hakim konstitusi. Keempat, RUU MK juga harus dapat menjawab persoalan ketidaktaatan penyelanggara negara terhadap putusan MK, dimana judicial order MK acapkali dianggap sebagai angin lalu, seperti tidak dilanjutinya putusan, ditindaklanjutinya putusan atau bahkan menghidupkan kembali aturan yang telah dimatikan oleh putusan MK.
Sumber:
Hukum Online, “Sejumlah Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU MK”
Hukum Online, "Guru Besar Ini Sebut Substansi Revisi UU MK Cacat Prosedural"
Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, "Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Perubahan Tanpa Kebutuhan Substantif"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H