Mohon tunggu...
Cindy Cherya
Cindy Cherya Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswi President University

A law student who is passionate about learning new things

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penahanan dalam KUHAP, Sekilas Kasus Kakek Samirin

29 Januari 2020   09:40 Diperbarui: 29 Januari 2020   09:55 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam proses penegakan hukum materiil melalui hukum formil, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan dan diskresi kepada pejabat berwenang terkait untuk melakukan pembatasan kebebasan dan kemerdekaan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana (tersangka) melalui serangkaian tindakan atau upaya paksa, salah satu diantaranya yakni melalui penahanan.

Penahanan diartikan sebagai penempatan tersangka atau terdakwa di suatu tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim melalui penetapannya dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 21 KUHAP). Tujuan dilakukannya penahanan diatur dalam Pasal 20 KUHAP, yakni untuk kepentingan pemeriksaan, penyelidikan/penyidikan kepada tersangka secara objektif dan benar-benar dalam mencapai hasil penyelidikan/penyidikan untuk diteruskan kepada penuntut umum, dan dipergunakan sebagai bahan pemeriksaan di depan persidangan.

Jenis penahanan diatur dan disebutkan dalam Pasal 22 KUHAP. Adapun penahanan dibedakan menjadi tiga jenis, yakni tahanan rumah tahanan negara (rutan), tahanan rumah dan tahanan kota. Secara nyata, tampak perbedaan berat ringannya ketiga jenis penahanan tersebut. Penahanan rutan adalah jenis penahanan terberat di antara ketiga jenis penahanan lainnya, dimana tersangka atau terdakwa yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan ditahan dalam rutan dengan penjagaan yang ketat. Menyusuk penahanan rumah yang lebih ringan, tersangka atau terdakwa berada dalam rumah atau tempat kediaman sendiri, hanya saja kebebasan tersangka atau terdakwa untuk keluar rumah tetap dibatasi dan diawasi oleh pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan dalam persidangan. Sebagai jenis penahanan yang paling ringan, kebebasan tersangka atau terdakwa tidak terlalu dikekang (boleh berkeliaran di sepanjang kota), tersangka atau terdakwa hanya tidak diperbolehkan keluar kota bagi tersangka atau terdakwa wajib melaporkan diri pada waktu yang ditentukan.

Undang-undang membuka kemungkinan adanya peralihan penahanan secara "vertikal" baik peralihan penahanan dari yang terberat menjadi lebih ringan, atau sebaliknya sebagaimana diatur pada Pasal 23 KUHAP. Pengalihan jenis penahanan, dapat diberikan dengan tiga pertimbangan yakni adanya permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum disertai alasan, adanya hasil pemeriksaan medis tentang kondisi kesehatan tersangka dan rekomendasi hasil gelar perkara. Pengalihan jenis penahanan ini wajib dilengkapi dengan surat perintah pengalihan jenis penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.

Meskipun penahanan pada hakikatnya merupakan suatu pelanggaran dan pengekangan terhadap hak asasi manusia. Namun, penahanan tetap dapat dibenarkan sepanjang ia bersandar pada tiang-tiang hukum yang proporsional. Sebagaimana tercermin pada konstruksi bunyi Pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan dilaksanakan 'melalui penetapannya dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam KUHAP', dapat dikonklusikan bahwa tidak semua tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana dapat atau pasti ditahan. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang telah memenuhi syarat objektif pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan syarat subjektif pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Adapun syarat objektif pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP mengatur bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih baik yang diatur di dalam maupun di luar KUHP (UU Pidana Khusus dan UU lain yang bersanksi pidana), dan tindak pidana yang telah ditentukan dan ditunjuk secara limitatif pada Pasal 21 ayat (4) huruf b meskipun dengan ancaman pidana di bawah lima tahun.

Selain memenuhi syarat objektif, perintah penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, juga harus memenuhi syarat subjektif yang dalam hal ini terdiri dari adanya tiga keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bagi penyidik bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana.

Transisi status sebagai seorang tahanan tak hanya berdampak pada terampasnya kemerdekaan dan kebebasan tersangka, namun dalam beberapa kasus, tersangka juga rentan menjadi korban atas tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum baik saat ditahan ataupun saat menjalani masa tahanannya yang pada realitasnya dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Meskipun pelaksanaan pemenuhan syarat objektif dalam penangguhan penahanan sudah jelas dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan sudah dilaksanakan secara formal, akan tetapi secara material masih sering terjadi tindak pidana ringan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana biasa sehingga pelakunya bisa dikenakan penahanan. Dalam praktiknya, masih saja terjadi kesalahan dalam mengualifikasikan perbuatan yang dipersangkakan atau didakwakan, semisal pada kasus Kakek Samirin.

Kakek Samirin dituntut dengan pidana 10 bulan kurungan penjara, namun setelah melalui proses persidangan, ia dijatuhi pidana penjara 2 bulan 4 hari oleh Hakim setelah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 107 huruf d UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan melakukan perbuatan pidana "secara tidak sah memungut atau memanen hasil usaha perkebunan" di perkebunan milik perusahan Jepang, PT Bridgestone SRE. Ironisnya, dalam kasus ini, Kakek Samirin ditahan pada proses penuntutan meskipun pasal yang dituntut pada Kakek Samirin ini nyatanya hanya memuat ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara yang mana tidak memenuhi syarat objektif dilakukannya penahanan sesuai Pasal 21 ayat (4) KUHAP.  

Selain pertimbangan di atas, KUHAP mengakui adanya asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan biaya ringan (speedy administration of justice) serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dinyatakan bahwa dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan dan penadahan, apabila nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000, maka perkara tersebut harus diperiksa, diadili dan diputus melalui Acara Pemeriksaan Cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Dalam Perma ini juga dijelaskan apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, maka pengadilan tidak menetapkan ataupun melakukan perpanjangan penahanan. Sedangkan dalam kasus Kakek Samirin diketahui bahwa Pengadilan Negri melakukan perpanjangan penahanan, dan memeriksa perkara Kakek Samirin dengan acara pemeriksaan biasa tanpa mempertimbangkan nilai objek perkara yang hanya berjumlah Rp 17.480.

Selain dituntut Pasal 107 huruf d UU Perkebunan, Kakek Samirin juga didakwa dengan Pasal 111 UU Perkebunan (memuat ancaman pidana paling lama 7 tahun penjara) terhadap perbuatan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian. Namun, hal ini juga menuai polemik dan patut dipertanyakan karena uraian dakwaan Pasal 111 UU Perkebunan yang dibuat oleh penuntut umum terhadap Kakek Samirin tidak relevan, karena Kakek Samirin sama sekali tidak melakukan penadahan. Padahal sesuai Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dinyatakan bahwa dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, sehingga dakwaan penuntut umum menyertakan Pasal 111 UU Perkebunan cacat formil.

Bertolakbelakang dengan syarat objektif yang relatif lebih mudah dipahami, persoalan akan semakin rumit ketika menelaah mengenai syarat subjektif suatu penahanan. Hal ini dikarenakan sifatnya yang sangat elastis dan subjektif, bergantung pada penafsiran masing-masing penegak hukum yang pada akhirnya menyebabkan ketidakadilan bagi tersangka, sehingga penerapannya sangat berpotensi menyimpang dari tujuan pembentukannya dan sangat mungkin disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, penegak hukum melakukan penahanan hanya sebatas formalitas dan karena diperbolehkan oleh Undang-Undang, bukan karena adanya kekhawatiran berdasarkan penilaian objektif, sehingga penahanan secara substansif tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam menanggapi konsekuensi yuridis tersebut, sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan tersangka atau terdakwa serta untuk mencegah lahirnya kekuasaan absolut aparat penegak hukum, KUHAP memberi pilihan dan saluran hukum bagi tersangka atau terdakwa untuk menangguhkan penahanannya. Penangguhan penahanan dalam KUHAP diatur pada Pasal 31 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: "Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan".

Meskipun ketentuan penangguhan penahanan dengan dan atau tanpa jaminan dijamin dalam KUHAP, namun penangguhan penahanan tidak serta merta diberikan dan dikabulkan kepada semua orang yang mengajukan. Ketentuan mengenai penangguhan penahanan ini pun tidak luput dari kekurangan dan cenderung memancik suatu permasalahan baru bagi masyarakat pencari keadilan dan kepastian hukum. Dalam implementasinya, Pasal 31 ayat (1) KUHAP kurang memberi penjelasan terhadap pelaksanaan penangguhan penahanan. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP hanya menyebutkan, bahwa "yang dimaksud dengan "syarat yang ditentukan" ialah wajib lapor, tidak ke luar rumah atau kota".

Dari rumusan pasal tersebut, dapat diuraikan pula bahwa syarat tersangka atau terdakwa mendapat penangguhan penahanan adalah adanya permintaan dari tersangka atau terdakwa, permintaan penangguhan penahanan disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim (sesuai kewenangannya masing-masing) yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan serta persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan. Ketentuan mengenai kriteria jaminan dalam syarat penangguhan penahanan diatur lebih lanjut pada Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun