Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perspektif Psikologi di Balik Hebohnya Kasus Penganiayaan oleh Anak Pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu

24 Februari 2023   20:25 Diperbarui: 24 Februari 2023   20:30 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi terkini  David korban penganiayaan Mario Dandy masih koma di ICU (dok: new.detik.com)

Warganet Indonesia kembali digemparkan oleh kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio, anak pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo.

Penganiayaan tersebut membuat putra pengurus GP Ansor Jonathan Latumahina, David tak sadarkan diri atau koma dan mesti menjalani perawatan medis di rumah sakit.

Kasus penganiayaan ini bermula saat mantan pacar David yang berinisial A, mengadu ke Mario jika dirinya mendapat perlakuan kurang baik dari David.

Mendengar hal tersebut, Mario pun mendatangi David yang saat itu sedang berada di rumah temannya, R.

Lalu, terjadilah perdebatan yang berujung pada penganiayaan terhadap David.

Tindakan ini mengakibatkan David sampai masuk ICU.

Dalam kasus ini, Mario telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan proses penahanan.

Lantas, bagaimana psikologi memandang kasus ini?

Mario yang merupakan anak dari salah satu pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kemenkeu diketahui gemar memamerkan barang mewah alias flexing di media sosial, seperti Instagram dan TikTok.

Meski terbilang masih remaja, Mario acap kali berfoto dengan mobil Jeep Rubicon dan motor Harley Davidson.

Melalui postingan yang telah diunggah melalui media sosial pribadi miliknya menunjukkan bahwa dirinya cukup dimanjakan oleh kedua orangtuanya.

Kekayaan serta status sosial ekonomi yang baik merupakan salah satu jenis privilege yang Mario miliki sedari kecil.

Namun, tanpa disadari privilege dengan terlahir dikeluarga kaya raya merupakan tantangan tersendiri bagi diri sendiri untuk tumbuh menjadi pribadi yang berakal dan beretika baik.

Pada laman resmi Psychology Today, seorang psikolog penelitian serta Asisten Profesor Psikologi dari Weill Medical College di Cornell University, Peggy Drexler Ph.D. memberikan fakta yang cukup mengejutkan.

Drexler menjelaskan bahwa membesarkan anak-anak yang memiliki "semuanya" merupakan tantangan yang serius.

Penelitian telah menemukan bahwa anak-anak istimewa, secara keseluruhan, lebih egois, depresi, dan merusak diri sendiri. 

Mereka cenderung lebih narsis dibanding anak-anak lainnya dengan tujuan untuk mengembangkan kesadaran diri.

Fakta tersebut semakin didukung oleh artikel ilmiah yang telah diterbitkan oleh jurnal Personality and Social Psychology Bulletin bahwa status sosial secara alamiah membentuk pola pikiran, perasaan, dan tindakan seorang individu.

Lima penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa status sosial yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan hak dan narsisme.

Seorang individu dengan status sosial kelas atas melaporkan hak psikologis yang lebih besar dan kecenderungan kepribadian narsistik dan mereka lebih cenderung berperilaku narsis dengan memilih untuk melihat diri mereka sendiri di cermin.

Kepribadian narsistik ini pun secara tidak sadar juga mengembangkan sikap bahwa dirinya lebih dari berbagai aspek dibandingkan individu lain dan merasa bahwa dirinya selalu yang "terbaik".

Gumpel, Wiesenthal, dan Sderberg (2015) juga memperkuat argumentasi tersebut dengan menjelaskan secara spesifik bahwa laki-laki berusia remaja dengan status sosial kelas atas cenderung mengembangkan kepribadian narsistik yang berkaitan dengan tingkat argesinya yang relatif tinggi.

Dinamika diantara narsisme dengan perilaku intimidasi terlihat saat remaja dengan sifat narsistik telah diidentifikasi sebagai eksploitatif, mendominasi, dan manipulatif dalam perjuangan mereka untuk dominasi sosial.

Namun, terdapat kemungkinan bahwa agresi yang digunakan oleh Mario merupakan bentuk dari mekanisme defensif untuk melindungi harga dirinya yang rapuh dengan tujuan agar terlihat gagah serta "keren" di depan A seperti teori yang telah diungkapkan oleh Washburn, McMahon, King, Reinecke, dan Silver pada tahun 2004.

Sebab, Sandstrom (2011) menjelaskan bahwa ''ancaman ego'' atau ''egotisme defensif'' pada umunya dikaitkan dengan sebuah bentuk penghinaan.

Baumeister (1998) menemukan bahwa ketika narsisme digabungkan dengan penghinaan akan menyebabkan peningkatan agresi di antara individu.

Hal tersebut disebabkan oleh ancaman ego dalam bentuk evaluasi negatif yang menghina berkorelasi dengan peningkatan agresi terbuka terutama di antara responden narsistik.

Secara umum, individu narsistik cenderung lebih cenderung untuk mendominasi dan mengontrol lingkungan sosialnya daripada mereka yang tidak memiliki kecenderungan narsistik.

Mereka juga dapat menggunakan bentuk agresi dan pemaksaan tidak langsung atau relasional yang canggih untuk mempertahankan atau meningkatkan dominasi mereka dan mungkin menganggap teman-teman mereka mendukung dominasi mereka melalui perasaan kebesaran dan kebutuhan akan kekaguman.

Hal tersebut terwujud dari bentuk agresi berupa penganiayaan yang dilakukan oleh Mario kepada David.

Ketika A mengadu kepada Mario bahwa David memperlakukannya dengan tidak baik, Mario seolah-seolah menunjukkan bahwa dirinya sebagai seorang yang percaya diri, dan kuat demi mempertahankan serta memperoleh dominasi sosial.

Pernyataan tersebut juga didukung oleh bukti video yang diduga direkam oleh A, pacar Mario sekaligus mantan David.

Dari video tersebut terdengar suara Mario yang tak takut dipolisikan.

Sambil menginjak tubuh David yang sudah terkapar di jalanan, terdengar suara Mario yang mempersilakan jika dilaporkan ke polisi.

"Gak takut gue anak orang mati. Mau lapor, lapor an***g," katanya.

Atas kasus tersebut ini juga segala bentuk yang dilakukan oleh Mario kepada David tidak dapat dibenarkan dan semoga kasus ini tidak terjadi kembali dimasa yang akan datang serta dapat memberikan hikmah bagi para remaja untuk dapat lebih bijak dalam bersikap dan bertindak agar tidak merugikan orang lain serta diri sendiri.

REFERENSI

  • Bushman, B. J., & Baumeister, R. F. (1998). Threatened egotism, narcissism, self-esteem, and direct and displaced aggression: Does self-love or self-hate lead to violence?. Journal of personality and social psychology, 75(1), 219-22.
  • Drexler, P. (2015, July 13). Rich Kids. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/our-gender-ourselves/201507/rich-kids
  • Gumpel, T. P., Wiesenthal, V., & Sderberg, P. (2015). Narcissism, perceived social status, and social cognition and their influence on aggression. Behavioral Disorders, 40(2), 138-156.
  • Piff, P. K. (2014). Wealth and the inflated self: Class, entitlement, and narcissism. Personality and Social Psychology Bulletin, 40(1), 34-43.
  • Sandstrom, M. (2011). Defensive egotism and aggression in childhood: A new lens on the self-esteem paradox.
  • Washburn, J. J., McMahon, S. D., King, C. A., Reinecke, M. A., & Silver, C. (2004). Narcissistic features in young adolescents: Relations to aggression and internalizing symptoms. Journal of Youth and Adolescence, 33, 247-260.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun