Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Diskriminasi, Pelecehan Seksual, dan Keadilan terhadap Kaum Laki-laki

3 September 2021   03:50 Diperbarui: 3 September 2021   11:04 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar logo KPI (dok: suara.com)

"Aksi pelecehan seksual sama sekali tak ada kaitannya dengan pakaian seksi yang dikenakan oleh korban", sering kali kita sebagai masyarakat mendengar argumentasi tersebut baik melalui surat pembaca, media elektronik hingga siaran radio.

Mungkin terdapat banyak masyarakat, khususnya yang berasal dari kaum wanita secara eksplisit akan memiliki persepsi yang sejalan dengan argumentasi tersebut, yang dimana memiliki afeksi untuk meletakan kaum wanita sebagai korban serta satu-satunya pihak yang membutuhkan perlindungan terkait pelecehan seksual dan diskriminasi sosial.

Namun mereka tidak menyadari bahwa pelecehan seksual serta diskriminasi sosial tidak terkategorisasikan oleh sex ataupun gender yang dimiliki oleh seorang individu. Baik perempuan ataupun laki-laki dapat menjadi korban dari aksi tercela yang dilakukan oleh para pelaku.

Mari kita bayangkan dan renungkan bersama-sama kalimat-kalimat berikut ini:

"Cowok kok nangis? Cengeng banget kayak cewek, lenje."

"Angkat gitu aja enggak bisa? Cowok bukan lu? Lemah."

"Cowok kok pakai skincare sih? Banci amat."

Ketiga kalimat tersebut yang dapat ditagorisasikan sebagai kalimat sindiran hingga dijadikan sebuah bahan bercandaan tak pantas yang pastinya sudah tidak asing lagi ditelinga kita semua. 

Apakah kalian telah menyadari bahwa kaum laki-laki pun memiliki probabilitas yang sama besarnya dengan kaum perempuan untuk menerima berbagai bentuk diskriminasi?

Ya, memang sebagai anggota dari masyarakat, hubungan kita akan begitu dekat dengan sebuah konsep yang bernama stereotype. Masyarakat memiliki kecenderungan melakukan penilaian terhadap seorang individu hanya dengan berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan sehingga pada akhirnya masyarakat memiliki sebuah ekspektasi tertentu terkait sex dan gender.

Kaum laki-laki selalu diekspektasikan sebagai seorang individu yang kuat agar dapat selalu melindungi wanita. Namun, apakah mereka tidak diperbolehkan untuk dapat bercerita saat mereka merasa cemas serta menangis ketika mereka merasa sedih? Pada hakikatnya, mereka juga merupakan seorang manusia, sekali lagi "seorang manusia".

Setiap manusia tanpa terkecuali serta tanpa terspeksifikasi tentunya memiliki emosi, baik itu emosi positif ataupun emosi negatif sehingga sangat tidak adil yang terjadi bila mereka mendapatkan diskriminasi ketika mereka sedang mengekspresikan emosinya. 

Sebab, dengan memaksakan stereotype yang berkembang sering kali membuat mereka memendam konflik emosionalnya seorang diri dan hal tersebut dapat berakibat fatal pada kesehatan mental serta kelangsungan hidupnya sebagai seorang manusia. 

Hal tersebut juga telah dibuktikan oleh fakta yang mengatakan bahwa jumlah laki-laki sebagai penghuni Rumah Sakit Jiwa jauh lebih banyak dibandingkan dengan wanita.

Sebelum melangkah lebih jauh dan melanjutkan tulisan pada kesempatan kali ini. Saya perlu menegaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini sama sekali bukan ditulis dengan tujuan membandingkan antara wanita dengan laki-laki dan siapa yang "lebih" memerlukan keadilan terkait diskriminasi ataupun pelecehan seksual.

Tulisan ini justru dibuat secara eksklusif untuk dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keadilan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk kaum laki-laki. Sebab laki-laki juga dapat menjadi korban dari aksi diskriminasi serta pelecehan seksual yang marak terjadi belakangan ini.

Gambar logo KPI (dok: suara.com)
Gambar logo KPI (dok: suara.com)

Tepat 2 hari lalu, masyarakat Indonesia digemparkan oleh sebuah twit yang telah diunggah akun @mediteraniaq pada Rabu (1/9/2021). Twit tersebut sendiri berisi rangkaian kisah yang menceritakan perlakuan melecehkan serta diskriminatif yang telah diterima nya dari sesame rekan kerjanya di Divisi Visual Data KPI Pusat. Sebuah kisah yang membuat siapapun yang membacanya akan merasakan kesedihan yang mendalam pula.

Tak langsung mencaci maki pelaku seperti apa yang dilakukan kebanyakan pembaca twit tersebut. Saya mencoba dengan tenang untuk dapat berada pada perspektif dari ketujuh pelaku, mencoba untuk menelisik lebih jauh motif apakah yang membuat mereka begitu tega melakukan hal keji seperti itu.

Namun, semakin lama saya berpikir dan merenung. Saya justru semakin bingung dan tak menemukan satu pun hal dari sisi saya pribadi terkait perspektif para pelaku dan saya secara tegas mengatakan bahwa tak terdapat satupun alasan ataupun argumentasi yang dapat membenarkan aksi diskriminasi serta pelecehan seksual yang telah pelaku lakukan.

Di mana sisi kemanusian kalian sebagai manusia ataukah masih pantas saya menyebutnya sebagai manusia? Terbaca sedikit keras namun pantas.

"Ketika kalian menusuk seorang individu dengan menggunakan sebuah pisau tajam, maka kalian dapat membunuh seorang individu tersebut dengan seketika. Namun, ketika kalian melakukan diskriminasi serta pelecehan seksual kepada seorang individu, maka kalian sedang membunuh individu tersebut secara perlahan dengan merusak mentalnya."

Sebesar dan semenakutkan itulah akibat yang dihasilkan oleh aksi-aksi tercela yang tak pantas untuk dilakukan kepada sesama umat manusia. Tetapi nyatanya memang terkesan begitu mustahil untuk dapat menghilangkan diskriminasi serta pelecehan seksual secara instan dari tanah dimana kaki kita berpijak.

Perlunya perhatian serta kerja sama yang baik di antara berbagai pihak seperti pemerintah serta instansi ataupun perusahaan untuk dapat kembali meregulasi dengan baik terkait permasalahan ini serta dapat memberikan sanksi dalam wujud positive punishment (contohnya dapat berbentuk hukum pidana) ataupun negative punishment (contohnya dapat dikeluarkan dari instansi atau perusahaan terkait) kepada mereka yang terbukti melakukan tindakan-tindakan tercela serta merendahkan martabat sesama manusia.

Sekolah pun tak kalah penting menurut saya dalam permasalahan ini sebagai pihak yang dapat memberikan edukasi serta sosialisasi terkait dampak yang dihasilkan dari aksi diskriminasi serta pelecehan seksual.

Dan pihak terakhir yang menjadi penting bagi tumbuh perkembangan seorang anak menjadi seorang yang dewasa adalah keluarga. Dengan penanaman rasa cinta kasih terhadap seluruh manusia dapat membantu mengembangkan seorang anak memiliki personality yang penuh kasih sayang, bersahabat serta jauh dari tindakan-tindakan tercela.

Saya sangat berharap permasalahan ini semakin lama akan semakin terkikis. Siapapun yang menjadi korban haruslah mendapatkan hak-haknya sebagai seorang manusia untuk mendapatkan kehidupan yang aman, dan juga seorang warga negara untuk mendapatkan perlakukan yang sama dimata hukum serta mendapatkan perawatan yang sesuai dari tenaga medis yang tepat untuk kembali membangun spirit dan value hidupnya.

Secara spesifik teruntuk individu yang memiliki niat atau bahkan telah melakukan diskriminasi serta pelecehan seksual kepada individu lainnya, terdapat sebuah pesan yang telah mengganjal lama di dalam hati saya. Hiduplah dengan benar, perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan dan ingatlah baik-baik bahwa karma is real!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun