Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Multitasking Itu Fakta atau Hanya Sekadar Mitos?

8 Juni 2020   20:40 Diperbarui: 20 Maret 2022   15:41 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar yang menampilkan kata "risiko" (dok: projecttimes.com)

Membaca dan mendengarkan musik secara bersamaan mungkin terdengar begitu mengasyikan untuk dilakukan di saat-saat periode menjelang ujian diadakan.

Tapi pernahkah Anda berpikir ulang? Apakah Anda benar-benar pandai melakukan berbagai hal secara bersamaan atau yang sering disebut sebagai multitasking?

Hampir sebagian besar dari pembaca tentunya telah mengetahui ataupun mendengar istilah tersebut. Dilansir dari verrywellmind.com, multitasking dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan yang menjalankan dua atau lebih tugas secara bersamaan, beralih bolak-balik dari satu hal ke hal yang lainnya, serta melakukan sejumlah tugas secara bersamaan.

Cuplikan chapter 4 dari buku
Cuplikan chapter 4 dari buku
Tahukah kalian bahwa sejatinya multitasking tak pernah ada dan merupakan sebuah mitos? 

Seorang bapak pendiri psikologi modern, yakni Wilhelm Wundt menegaskan bahwa melalui introspeksi (melihat ke dalam), tidaklah mungkin seorang individu mempunyai dua atensi dalam dua proses mental secara bersamaan.

Sejumlah literatur yang tumbuh dengan pesat juga menunjukkan secara konsisten efek yang mengganggu dari pengiriman pesan teks saat mengemudi ataupun mendengarkan musik ketika membaca. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa multitasking dapat "membuat Anda bodoh" karena kita tidak dapat secara efektif mengelola lebih dari satu tugas kognitif pada suatu waktu (see Gorlick, 2009; Hosking, Young, & Regan, 2009; Lin, 2009; Richtel, 2010; and Shellenbarger, 2004).

"Kesadaran hanya berlaku satu pikiran, satu persepsi. Ketika itu muncul seolah-olah kita memiliki beberapa persepsi secara bersamaan, kita tertipu oleh suksesi cepat mereka" - quoted in Diamond, 1980b, p. 39

Di sisi lain, penelitian dalam ilmu saraf pun telah menjelaskan bahwa otak manusia tidak benar-benar melakukan tugas secara bersamaan, seperti yang kita duga selama ini. Bahkan, kita hanya berpindah tugas dengan cepat. Setiap kali kita beralih dari mendengarkan musik, menulis teks, atau berbicara dengan seseorang, ada proses berhenti atau mulai yang berlangsung pada otak. 

Nyatanya proses mulai, berhenti, dan mulai kembali tersebut begitu berat bagi kita. Alih-alih menghemat waktu, hal tersebut justru akan membutuhkan waktu. 

Pada kenyataan, multitasking itu kurang efisien, membuat kita lebih banyak melakukan kesalahan, dan seiring waktu akan berdampak terkurasnya energi dalam tubuh.

Mencoba untuk membuktikan (dok: slideshare.net)
Mencoba untuk membuktikan (dok: slideshare.net)
Sampai di sini percayakah kalian bahwa multitasking adalah mitos? Jika belum percaya, mari kita buktikan bersama.

Nancy K. Napier Ph.D mengajak kita semua untuk mengikuti sebuah tes sederhana yang telah dipelajarinya baru-baru ini di sebuah lokakarya tentang kesadaran yang disampaikan oleh Potential Project sebagai berikut:

  1. Gambar dua garis horizontal pada selembar kertas.
  2. Sekarang, mintalah seseorang mengatur waktu Anda di saat Anda melakukan dua tugas berikut:
  • Di baris pertama tulis "saya seorang multitasker hebat."
  • Pada baris kedua tulis angka 1-20 secara berurutan, seperti ini: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melakukan dua tugas? Biasanya sekitar 20 detik.

Sekarang, mari kita lakukan lebih banyak tugas lagi.

Gambar dua garis horizontal lagi. Kali ini, dan sekali lagi mintalah bantuan seseorang untuk megatur waktu Anda. Tulislah huruf pada satu baris dan kemudian angka pada baris di bawah. 

Kemudian huruf berikutnya dalam kalimat di baris atas, dan kemudian angka berikutnya dalam urutan, berubah dari baris berbaris. Dengan kata lain, Anda menulis huruf "s" dan kemudian angka "1" dan kemudian huruf "a" dan kemudian angka "2" dan seterusnya, sampai Anda menyelesaikan kedua baris.

S a y a  s e o r a ng ...

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ...

"Saya berani bertaruh waktu Anda dua kali lipat atau lebih pada putaran pertama. Anda juga mungkin telah membuat beberapa kesalahan atau bahkan Anda mungkin mengalami frustasi karena Anda harus memikirkan kembali apa huruf berikutnya dan kemudian nomor berikutnya." Tutur Napier.

Itulah bukti nyata dari adanya switch-tasking pada sesuatu yang sangat sederhana, tetapi itulah yang terjadi ketika kita berusaha melakukan banyak hal (seringkali lebih kompleks) pada waktu yang bersamaan. 

Jadi lain kali, saat Anda berpikir Anda dapat melakukan multitasking, berhentilah dan sadarilah bahwa Anda sebenarnya melakukan switch-tasking.

Gambar yang menampilkan kata
Gambar yang menampilkan kata "risiko" (dok: projecttimes.com)

Di balik itu semua nyatanya baik multitasking ataupun switch-tasking ternyata memiliki sejumlah risko yang berdampak buruk bagi kondisi psikis kita.

Dilansir dari psychologytoday.com, penelitian baru mengungkap bagaimana multitasking sebenarnya dapat memiliki konsekuensi yang mengkhawatirkan, antara lain sebagai berikut:

1. Multitasking dan kerusakan pada otak
Penelitian baru-baru ini menemukan bahwa orang-orang yang sering melakukan multitasker media mengalami pengurangan materi abu-abu otak mereka khususnya pada bidang yang berkaitan dengan kontrol kognitif dan regulasi motivasi dan emosi.

2. Masalah pada memori akibat multitasking
Sebuah penelitian pada tahun 2016 menemukan bahwa multitasker media kronis menunjukkan kelemahan dalam memori kerja (kemampuan untuk menyimpan informasi yang relevan saat mengerjakan tugas) dan memori jangka panjang (kemampuan untuk menyimpan dan mengingat informasi dalam periode waktu yang lebih lama).

3. Multitasking meningkatkan stress kronis
Sebuah studi tentang mahasiswa menemukan bahwa semakin banyak siswa melakukan multitasking saat menggunakan komputer mereka, maka semakin banyak stres juga yang mereka alami. 

Pemboman yang terus-menerus terhadap informasi yang mereka coba tanggapi meningkatkan respons stres mereka, yang berarti multitasking kronis dapat mengakibatkan stres kronis.

4. Multitasking meningkatkan depresi dan kecemasan sosial
Seorang peneliti mencoba untuk memeriksa hubungan antara multitasking, penggunaan media, dan kesehatan emosional. Meskipun tidak ada korelasi antara penggunaan media dan hasil negatif dalam studi khusus ini, tim menemukan bahwa semakin banyak peserta melakukan multitasking, maka semakin besar juga kemungkinannya untuk melaporkan gejala depresi dan kecemasan sosial.

Referensi

  1. Cherry, K. (2020, March 26). How Multitasking Affects Productivity and Brain Health. Retrieved from verywellmind.com
  2. Napier, N. K. (2014, May 12). The Myth of Multitasking. Retrieved from psychologytoday.com
  3. Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2011). A History of Modern Psychology, Tenth Edition. Canada: Wadsworth, Cengage Learning.
  4. Winch, G. (2016, June 22). 10 Real Risks of Multitasking, to Mind and Body. Retrieved from psychologytoday.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun