Racism is a sign of a lack of psychological maturity and integration - Steve Taylor, a senior lecturer in psychology at Leeds Beckett University, UK.
Dalam sepekan terakhir ini, Amerika Serikat dihadapkan pada sebuah gejolak unjuk rasa dan kerusuan rasial. Kerusuan rasial ini merupakan sebuah akibat dari tewasnya George Floyd, pria kulit hitam, setelah lehernya ditekan dengan dengkul selama hampir sembilan menit oleh Derek Chauvin, polisi berkulit putih di Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, Senin (25/5/20).
Kerusuhan yang telah terjadi di sejumlah kota di Amerika Serikat selama sepekan terakhir ini secara tidak langsung telah menggambarkan secara jelas bagaimana perasaan diperlakukan dengan tidak adil, kemarahan, protes atas perlukan tak manusiawi, serta upaya mengekspresikan pemberontakan atas perlakukan rasisme aparat.
Pandangan Psikologi terhadap aksi rasisme
Dilansir dari laman resmi American Psychological Association (APA), Hoyt (dalam Shouhayib, 2015) menjelaskan bahwa rasisme merupakan suatu bentuk prasangka tertentu yang didefinisikan oleh keyakinan keliru yang telah terbentuk sebelumnya tentang ras dan anggota kelompok ras.
Dari penjelasan tersebut, kita menjadi tahu bagaimana rasisme dibangun di sekitar stereotip, asumsi, dan pandangan berprasangka. Namun, nyatanya rasisme bukan hanya sekadar mengenai sudut pandang berprasangka.
Wellman (dalam Shouhayib, 2015) hadir untuk memberikan penyempurnaan dari definsi dan pemahaman mengenai rasisme. Ia menyakini bahwa rasisme menunjukkan bagaimana hal itu tidak hanya mencakup bias antarpribadi, tetapi hadir dalam dinamika kelembagaan, historis dan struktural, yang melanggengkan kekuatan dan keunggulan kelompok dominan.
Disisi lain, aksi rasisme telah menjadi bukti nyata dari adanya tanda kurangnya integrasi psikologis, kurangnya harga diri dan keamanan batin.
Orang-orang yang sehat secara psikologis dengan rasa diri yang stabil dan keamanan batin yang kuat tidak akan menjadi rasis dengan sebuah perbedaan yang tercipta, karena mereka tidak perlu memperkuat rasa diri mereka melalui identitas kelompok. Mereka tidak perlu mendefinisikan diri sendiri dalam perbedaan dan dalam konflik dengan orang lain.
Perlu diingat bersama bahwa rasisme dan juga xenophobia bukanlah berakar dari faktor genetik atau evolusi, melainkan merupakan hasil dari sifat psikologis yang lebih khusus, mekanisme pertahanan psikologis yang dipicu oleh perasaan tidak aman dan cemas dalam individu yang melaukan aksi rasisme. Pernyataan tersebut juga telah dibuktikan oleh teori psikologis "terror management."
Xenophobia atau rasa takut pada orang asing merupakan istilah luas yang dapat diterapkan pada rasa takut seseorang yang berbeda dari kita. Xenophobia sendiri sering berada dalam kondisi tumpang tindih dengan bentuk prasangka termasuk rasisme dan homofobia, tetapi ada perbedaan penting yang mendasarinya. Jika rasisme, homofobia, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya didasarkan pada karakteristik khusus, sedangkan xenophobia biasanya berakar pada persepsi bahwa anggota kelompok luar adalah asing bagi komunitas in-group.