Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Perspektif Psikologi di Balik Hebohnya "Oplas Challenge" hingga Fakta-fakta Menariknya

31 Mei 2020   17:13 Diperbarui: 13 April 2022   12:48 2069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hey there, beautiful. Go look in the mirror. Really look at yourself. Past the insecurities, past everything you think is wrong. You are beautiful. Remember that - Anonymous

Baru-baru ini warganet Indonesia kembali dihebohkan dengan kemunculan trend baru, yakni oplas challenge yang telah diikuti oleh banyak kalangan selebriti di tanah air seperti Raditya Dika, Ashanty, Melly Goeslaw, Gilang Dirga, Melaney Ricardo, dan masih banyak lagi.

Oplas challenge sendiri merupakan sebuah "tantangan" yang ditujukan kepada pengguna sosial media untuk mengubah wajah mereka mejadi lebih memukau yang tampak seperti melakukan operasi plastik dan mengunggahnya pada laman resmi sosial media. Tantangan ini sendiri dilakukan oleh warganet Instagram dengan melalui bantuan dari aplikasi FaceApp.

Jika tantangan ini hanya dijadikan sekedar hiburan semata dikala bosan selama masa karantina dirumah, mungkin hal tersebut tidak menjadi sebuah permasalahan yang perlu diperdebatkan. Tetapi, saat penggunanya mulai merasakan sensasi "kecanduan" dari hasil yang diperolehnya melalui oplas challenge tersebut tentunya hal tersebut akan menjadi sebuah permasalahan yang berbahaya.

Bahaya dari penggunaan yang berlebihan (kecanduan)

1. Self-confidence

Kekurangan rasa percaya diri (dok: in2itivemagazine.com)
Kekurangan rasa percaya diri (dok: in2itivemagazine.com)

Pengguna yang kecanduan mengguanakan filter yang dapat merubah wajah layaknya oplas dapat memandangi dirinya yang rupawan dalam layar gawainya dalam waktu yang cukup lama.

Sesaat dimana sang penguna terkait hendak membasuh wajahnya dengan sebuah handuk tepat didepan kaca kamar mandinya, ia mulai berpikir wajahnya tak serupawan apa yang telah disuguhkan oleh filter oplas tersebut.

Merasa wajahnya "kurang" tampan atau cantik dapat memicu rendahnya self-confidence dalam diri para pengguna yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan, yakni merasa tak percaya diri dengan penampilannya sendiri dan mulai minder. Hal tersebut dapat memicu penggunannya untuk terus mengunggah wajah editannya terus menerus (bukan wajah aslinya) atau bahkan melakukan oplas didunia nyata.

2. Insecure

Kurangnya rasa percaya diri (dok: futuready.com)
Kurangnya rasa percaya diri (dok: futuready.com)
Memandang hasil filter oplas tersebut lebih cantik atau tampan dibandingkan dirinya didunia nyata memiliki kemungkinan besar terciptanya perasaan insecure dalam diri seorang individu. 

Insecure sendiri merupakan suatu perasaan yang dapat menimbulkan seseorang merasakan ketidaknyamanan terhadap dirinya sendiri.

Mencobalah untuk mencintai dirimu sendiri. Mungkin seringkali seorang individu selalu terfokus pada kekurangan-kekurangan yang ia miliki dibandingkan kelebihan-kelebihannya. 

Seringkali juga seorang individu cenderung membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain atau bahkan DENGAN HASIL FILTER OPLASNYA sendiri.

Kita harus tahu bahwa setiap individu diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Perbedaan tersebutlah yang menciptakan keunikan diantara kita. 

Dengan memulai untuk mencintai diri kita sendiri, kita dapat bersyukur dengan kelebihan maupun kekurangan yang telah kita miliki saat ini dan bisa lebih percaya pada diri sendiri. Try to love yourself!

Tanggapan para ahli mengenai oplas challenge

Ilustrasi permasalahan psikologis (dok: sains.kompas.com)
Ilustrasi permasalahan psikologis (dok: sains.kompas.com)
Ikhsan Bella Persada M.Psi., Psikolog dan Intan Erlita M.Psi., Psikolog membenarkan bahwa bila tujuan mengikuti oplas challenge semata-mata hanya untuk hiburan dan bersenang-senang tanpa menimbulkan efek lain, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.

Psikolog Intan menuturkan challenge ini akan menjadi sebuah masalah jika para pengguna mulai memaknai oplas challenge sebagai sebuah pembenaran bagi mereka yang merasa tak percaya diri dan akhirnya mereka memiliki identitas baru dengan apa yang ditampilkan di sosial media.

Ia juga menambahkan, yang terparahnya adalah ketika para pengguna mulai menikmati penampilan wajahnya dalam bentuk editan dan mulai memiliki pemikiran untuk melakukan operasi plastik.

"Ketika seseorang mulai nggak pede menampilkan diri dia yang aslinya terus menampilkan yang editan itu timbul ke dirinya kalo orang bakal kaget ketemu gue aslinya nggak begini," ujar Intan sebagaimana yang telah dikutip oleh insertlive.com, Sabtu (30/5/20).

"Yang tadinya cuma oplas-oplas di aplikasi akhirnya ngebawa deh tuh foto yang ada di editannya, mulailah tanya-tanya ke dokter operasi plastik, mulai ingin merombak wajahnya," tutupnya.

Di sisi lain, Psikolog Ikhsan menjelaskan sampai manakah batas oplas challenge dikatakan masih normal. Menurutnya, terdapat sebuah patokan di mana oplas challenge ini sudah berubah arah, yakni di saat individu tersebut (penggguna) sudah terlalu nyaman dengan kondisi wajah barunya. 

Sampai-sampai, saat ia menunjukkan wajah aslinya, dia jadi cemas. Kenapa? Karena ia tidak suka dengan wajah aslinya dan merasa lebih bangga dengan hasil permakkan tersebut.

Tak jauh berbeda dengan Psikolog Intan, Psikolog Ikhan juga menambahkan bahwa oplas challenge ini ini juga dapat dikatakan kelewat batas bila penggunanya sampai menjadikan hasil foto editan sebagai referensi untuk melakukan operasi plastik sungguhan.

Fakta menarik seputar operasi plastik ditinjau dari sudut pandang Ilmu Psikologi

Gambar seorang yang gagal dalam operasi plastik. (dok: jawapos.com)
Gambar seorang yang gagal dalam operasi plastik. (dok: jawapos.com)

Wanita dengan masalah psikologis lebih cenderung memilih untuk melakukan operasi. Mereka yang menjalani operasi plastik lebih cenderung memiliki riwayat kesehatan mental yang lebih buruk, termasuk lebih depresi dengan tingkat kecemasan yang tinggi, seringkali melukai diri sendiri dan bahkan melakukan upaya untuk bunuh diri.

Para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang dapat menunjukkan secara nyata bahwa operasi plastik dapat dilakukan untuk mengurangi masalah kesehatan mental pada wanita yang tidak puas dengan penampilan mereka.

Beberapa orang tidak pernah puas dengan operasi plastik, meskipun hasil prosedurnya bagus. Beberapa di antaranya memiliki gangguan kejiwaan yang disebut dengan "body dysmorphic disorder".

Pada umumnya seorang individu berencana untuk melakukan operasi plastik adalah untuk merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri, individu tersebut akan berpikir bahwa prosedur operasi plastic yang sukses akan mengarahnya pada peningkatan harga diri, suasana hati, dan kepercayaan sosial.

Sebuah penelitian besar ditemukan. Setidaknya pada usia yang lebih muda, pasien operasi plastik adalah kelompok yang lebih bermasalah dan prosedur ini tidak dapat membantu. 

Penelitian ini penting karena telah diikuti lebih dari 1.500 gadis remaja selama 13 tahun, dan para peneliti tidak tahu siapa yang benar-benar akan menjalani operasi pada waktu itu. 78 anak perempuan yang melakukannya lebih cenderung cemas atau depresi dan mengalami peningkatan yang lebih besar dalam gejala-gejala tersebut selama periode tersebut dibandingkan yang bukan pasien. 

"Saya pikir ini adalah salah satu studi terbaik di luar sana," ujar Viren Swami, seorang ahli body image dan seorang psikolog di University of Westminster, London. "Dan temuan mereka tampaknya cukup jelas: mereka yang memilih untuk menjalani operasi plastik cenderung memiliki sejarah kesehatan mental yang buruk pada awalnya, tetapi memiliki operasi kosmetik tidak menghasilkan hasil yang positif."

Gambar poster BTS love yourself. (dok: kpopfonts.com)
Gambar poster BTS love yourself. (dok: kpopfonts.com)
Untuk mengakhiri artikel pada kali ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa kalian semua itu menawan. Menawan tak selalu harus berpatokan pada penampilan semata. 

Jadilah sebagaimana diri kalian sesungguhnya. Tak perlu mengikuti atau mendengarkan perkataan orang yang dapat menggoyahkan.

Referensi:

  1. Castle, D. J., Honigman, R. J., & Phillips, K. A. (2002). Does Cosmetic Surgery Improve Psychosocial Wellbeing? The Medical journal of Australia, 176(12), 601-604.
  2. Ehrenfeld, T. (2015, July 15). Will Plastic Surgery Make You Feel Better? Retrieved from psychologytoday.com
  3. Maharani, A. (2020, May 29). Lagi Tren, Apakah Oplas Challenge Cuma Keisengan Saja? Retrieved from klikdokter.com 
  4. Nurrachmah, D. (2020, May 30). Kata Psikolog Soal Oplas Challenge yang Bisa Bikin Orang Nggak Pede. Retrieved from insertlive.com
  5. Stephanie, C. (2020, May 27). Begini Cara Membuat Foto "Oplas Challenge" dengan Aplikasi FaceApp. Retrieved from tekno.kompas.com 
  6. Von Soest, T., Kvalem, I., & Wichstrom, L. (2012). Predictors of cosmetic surgery and its effects on psychological factors and mental health: A population-based follow-up study among Norwegian females. Psychological Medicine, 42(3), 617-626. doi:10.1017/S0033291711001267
  7. Yuniar, S. (n.d.). Mengatasi Insecure Pada Diri Sendiri. Retrieved from blog.javan.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun