Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Stay at Home" Bikin Makin Boros? Yuk Simak Alasan Psikologis dan Tips Menghadapinya

28 Mei 2020   16:06 Diperbarui: 6 April 2022   14:35 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dok: killerinnovations.com)

Sudah hampir 3 bulan lamanya masyarakat Indonesia berada dalam situasi pandemi COVID-19 sejak konfirmasi kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020.

Berbagai kebijakanpun diterapkan oleh pihak pemerintah dalam upaya memutus mata rantai dari penyebaran COVID-19 di Indonesia. Salah satu kebijakan tersebut adalah adanya himbauan yang ditujukan kepada masyarakat untuk tetap berdiam diri didalam rumah saja atau yang familiar disebut sebagai gerakan "stay at home".

(dok: killerinnovations.com)
(dok: killerinnovations.com)
Stay at home atau berdiam diri didalam rumah (tidak berpergian jika tidak urgent) secara terus menerus tentunya memberikan efek jenuh pada diri seorang individu. Efek jenuh tersebut pun lama kelamaan akan berimbas terciptanya kebosanan dalam diri seorang individu.

Dilansir dari psychologytoday.com, kebosanan umumnya dipandang sebagai keadaan emosional yang tidak menyenangkan di mana seorang individu merasakan kurangnya minat dan kesulitan berkonsentrasi pada aktivitas saat ini dengan sebuah fakta mengejutkan yang menyebutkan bahwa orang dengan kepribadian extrovert cenderung lebih rentan dibandingkan dengan orang dengan kepribadian introvert, setujukah kalian?

Terlepas dari kepribadian yang dimiliki oleh seorang individu, jika mereka mengalami kebosanan maka hal tersebut perlahan-lahan akan mengarahkan individu tersebut secara tidak lansung pada perilaku konsumtif (boros) selama pandemi COVID-19 (common reason).

Lantas mengapa kebosanan dapat menyebabkan seseorang menjadi konsumtif?

(dok: kochiesbusinessbuilders.com.au)
(dok: kochiesbusinessbuilders.com.au)
Salah satu upaya umum yang hampir dilakukan oleh seluruh individu untuk mengusir kebosanan selama pandemi COVID-19 adalah dengan melalukan aktivitas yang berhubungan dengan jejaring sosial. 

Entah itu menonton video di Youtube atau hanya sekedar melihat-lihat halaman muka Instagram yang dipenuhi oleh konten-konten bermuatan endorse dari para selebgram (special reason).

Tahukah kalian? Aktivitas umum seperti itu secara tidak langsung dapat membuat seorang individu menjadi lebih konsumtif dan mengarahkannya pada e-commerce tertentu (untuk berbelanja secara online ditengah pandemi).

Seringkali saat menonton video dari seorang youtuber atau saat melihat konten (foto atau video) yang dipajang oleh seorang selebgram pada laman akun resminya memunculkan hasrat naluriah dari seorang individu untuk mempunyai juga barang-barang yang dikenakan oleh model (youtuber atau selebgram) dan sering disebut dengan perilaku imitasi.

Perilaku imitasi tersebut akan mengarahkan individu yang bersangkutan kepada perilaku konsumsi yang lebih mementingkan faktor keinginan (what) dibandingkan faktor kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (konsumtif).

Hal tersebut merupakan bukti nyata dari penerapan second order conditioning theory dalam learning process yang dimana seseorang membeli sebuah barang didasarkan pada model yang mempromosikan barang tersebut dan sama sekali bukan berdasarkan kebutuhan pribadinya.

Gambar Sigmund Freud. (dok: culturacolectiva.com)
Gambar Sigmund Freud. (dok: culturacolectiva.com)
Perilaku konsumtif (boros) yang terjadi selama pandemi COVID-19 juga dapat diilustrasikan melalui teori struktur kepribadian yang telah dicetuskan oleh pendiri aliran Psikoanalisis bernama Sigmund Freud, yakni sebagai berikut:

Pengertian Teori

  1. Id (pleasure principle): Komponen kepribadian yang bersifat naluriah. Id terdiri dari semua komponen kepribadian yang diwariskan secara biologis yang telah dimiliki oleh seorang individu saat ia dilahirkan didunia, dan termasuk naluri seks (kehidupan), eros (yang mengandung libido), serta naluri agresif (kematian).
  2. Ego (reality principle): Merupakan jembatan antara Id dan Superego yang bertujuan untuk menyeimbangkan jalan dari kehidupan seorang individu (pengertiannya berbeda dengan "ego" yang seringkali diucapkan orang pada umumnya).
  3. Superego (morality): Menggabungkan nilai-nilai dan moral masyarakat yang dipelajari dari orang tua dan orang lain. Ini berkembang sekitar usia 3 - 5 tahun selama the phallic stage of psychosexual development.

Ilustrasi Kasus

Id disini terjadi saat seorang individu memiliki rasa ketertarikan atau keinginan untuk membeli sebuah barang tertentu setelah melihat model (youtuber atau selebgran). Kemudian, untuk Superego sendiri terjadi ketika individu tersebut menyadari bahwa perekonomian yang tak stabil ditengah pandemi COVID-19 membuatnya berpikir 2 kali untuk membeli barang secara online. 

Sedangkan tugas Ego pada kasus ini adalah menjembatani antara Id dan Superego dimana memilih jalan tengah yang dimisalkan individu tersebut akhirnya tetap membeli barang yang ia inginkan tetapi melihat kondisi keungannya saat ini (tidak memaksakan kehendak) dan membeli barang yang "lebih" diperlukannya.

Sehingga, mungkin pada awalnya ia ingin membeli 7 buah barang tetapi pada akhirnya ia memutuskan hanya membeli 3 buah barang saja.

Tetapi jika individu tersebut tetap teguh dengan pendiriannya bahwa harus membeli seluruh barang yang ia inginkan tanpa menghiraukan kondisi keuangannya (menggunakan segala cara, seperti penggunaan kartu kredit) maka Id nya lebih berperan besar dengan ditambah oleh konsep diri yang rendah.

Sedangkan bila individu tersebut sama sekali tidak membeli barang-barang yang ia inginkan saat berpikir untuk kedua kalinya, berarti ia memiliki Superego yang lebih besar dibandingkan Id nya. Ditambah dengan kecenderungan konsep diri yang relatif tinggi.

Walaupun begitu, tak dapat dipungkiri perilaku konsumtif selama "stay at home" pun sering kali terjadi pada diri saya pribadi dan hal tersebut sangatlah mengganggu saya. Berikut adalah beberapa cara atau tips yang saya lakukan untuk meminimalisir keborosan selama dirumah saja.

(dok: utakatikotak.com)
(dok: utakatikotak.com)
  1. Ketika bosan melanda, jangan buru-buru mengecek berbagai sosial media. Cari dan temukan hobi kalian. Jika kalian suka menulis, mulailah membuat sebuah karya tulis. Jika kalian suka bermain musik, mulailah untuk membuat konten musik. Dengan menjalankan apa yang kalian sukai, maka kalian akan menghindari perilaku konsumtif dan tetap produktif selama dirumah saja.
  2. Buatlah daftar kebutuhan yang diprioritaskan. Sehingga ketika melihat sebuah barang yang sangat menarik tetapi tak masuk dalam daftar yang diprioritaskan, kita akan segera menghiraukannya.
  3. Bangun konsep diri, jangan ikut-ikutan trend atau orang lain karena kita bukan mereka dan mereka bukan kita. Tetaplah menjadi diri sendiri.

Sekian pembahasan mengenai alasan psikologis dibalik perilaku konsumtif seorang individu selama "stay at home". Semoga tips atau cara diatas dapat bermanfaat bagi pembaca.

Referensi:

  1. Carneta, C. (2020, May 21). Hubungan NF dengan Defense Mechanism dan Inferiority Complex. Retrieved from kompasiana.com
  2. Heshmat, S. (2017, June 16). Eight Reasons Why We Get Bored. Retrieved from psychologytoday.com
  3. Kashdan, T. B. (2020, July 30). Are You Really an Introvert or Extrovert? Retrieved from psychologytoday.com
  4. McLeod, S. (2019). Id, Ego and Superego. Retrieved from simplypsychology.org
  5. Miller, P. M. (2011). Theories of Developmental Psychology, 5th Edition. New York: Worth Publishers.
  6. Patricia, N. L., & Handayani, S. (2014). Pengaruh Gaya Hidup Hedonis terhadap Perilaku Konsumtif pada Pramugari Maskapai Penerbangan "X". Jurnal Psikologi, 12(1), 10-17.
  7. Powell, R. A., Honey, P. L., & Symbaluk, D. G. (2013). Introduction to Learning and Behavior. Canada: Wadsworth, Cengage Learning.
  8. Wijayanti, A., & Astiti, D. P. (2017). Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Konsumtif Remaja di Kota Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 4(1), 41-49.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun