Pelukan Ibuku kian erat. Rambutku diciumnya, lama. Aku tak mampu menterjemahkan apa arti semua itu. Adakah Ibuku ingin membilas kepedihanku yang selama ini tak kuasa beliau lakukan? Atau, adakah sesuatu yang tak akan pernah mampu aku ketahui?
Pemandangan bertangisan seperti ini tak akan pernah ada di dalam rumah. Kami tak punya keberanian untuk menanggung sebuah akibat. Bahkan untuk siapa pun juga.
***
Usiaku delapan tahun ketika Ibuku melahirkan adikku yang ke tiga. Rupanya kelahiran adikku itu mengakibatkan Ibuku harus kehilangan banyak darah. Nyawa Ibuku tak tertolong. Ketika hal ini terjadi, ibu-ibu yang berdatangan untuk melayat berurai air mata. Dengan suara agak keras Ayahku melarang ibu-ibu itu menangis di dekat jasad Ibuku. Seperti juga ibu-ibu, aku dan kedua adikku segera meninggalkan rumah. Yang tersisa di rumahku hanya bapak-bapak yang  cenderung tahan untuk tidak menangis.
Kami bertiga pergi ke gubuk di tepi sawah, tempat yang pernah aku kunjungi bersama Ibuku. Di gubuk itu kami menangis sejadi-jadinya. Kini lengkap sudah kepedihan itu menemani. Menemani kami saat ini dan seterusnya. Ibuku yang kami anggap sebagai benteng terakhir itu kini tiada.
"Ayah, ijinkan kami menangis untuk mengantar kepergian Ibu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H