Siapa sangka, ketukan palu Hamdan Zoelfa, yang meloloskan RUU MD3 itu bakal menyisakan polemik yang lumayan pelik. Senin, 29 September '14, selaku Ketua MK, dengan penuh percaya diri Hamdan Zoelfa menolak seluruh gugatan uji materi RUU MD3 yang diajukan PDIP dan 4 orang lainnya, karena dianggap telah sesuai dengan Konstitusi.
"Menolak para pemohon untuk seluruhnya!" ucap Hamdan Zoelfa.
Namun, dalam amar putusan itu terjadi "dissenting opinion" atau perbedaan pendapat yang diajukan dua hakim MK lainnya: Arief Hidayat dan Maria Farida Indarti.
Menurut Maria Farida Indarti;
"Dalam suatu negara hukum diperlukan kepastian hukum. Jika UU yang mengatur 4 lembaga sekaligus (MPR, DPR, DPRD dan DPD) berubah setiap kali periode Pemilu, maka kepastian hukum tak akan tercapai. Apa penggantian UU itu tak menimbulkan kerugian konstitusional?"
Senada dengan Maria, Arief Hidayat mengatakan:
"Mekanisme pilihan DPR yang berubah-ubah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang salah satunya menyatakan: materi UU harus mencerminkan ketertiban dan kepastian hukum. Mekanisme yang selalu berubah telah melanggar asas kepastian hukum bagi masyarakat."
Dissenting opinion yang disampaikan Hakim Maria Farida Indarti dan Hakim Arief Hidayat terbukti. Keputusan Ketua MK Hamdan Zoelfa untuk meloloskan RUU MD3 pada akhirnya menimbulkan gejolak politik luar biasa sehingga melahirkan Ketua DPR tandingan (versi KIH dan versi KMP). Akibatnya, hingga detik ini DPR praktis belum bekerja secara maksimal karena harus berkutat dengan persoalan mereka sendiri. Revisi UU MD3 itu terpaksa harus direvisi lagi.
Ketika "side effect" UU MD3 baru saja reda, kali ini Hamdan Zoelfa mengirim surat kepada Presiden Jokowi yang intinya keberatan (memberi pertimbangan) atas dipilihnya Refly Harun dan Todung Mulya Lubis sebagai Pansel calon Hakim Konstitusi. Menurutnya, dipilihnya Refly dan Todung dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan mengingat Refly dan Todung sering berperkara di MK.
Sementara, menurut Editorial MI pada (17/12/14), tindakan Hamdan menyurati Presiden dianggap sebagai "mengangkangi" wewenang Presiden.
"Sebaiknya surat itu ditarik saja dan dianggap tak pernah ada. Sebab bukan tak mungkin, tindakan Hamdan Zoelfa itu dapat diterjemahkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi yang tak faham konstitusi."
- Materi tulisan ini dikutip dari berbagai sumber di Internet.
- Selamat sore Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H