Cooling down sejenak. Setidaknya itulah yang diharapkan pemerintah bagi suasana kebatinan mayoritas masyarakat/rakyat Indonesia setelah sebulan penuh disuguhi tontonan sekaligus tuntunan yang menjungkirbalikkan fakta, analisa, bahkan akal sehat.
Rabu, 18 Februari '15, Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap untuk:
- Tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.
- Menetapkan Komjen Badrodin Haiti sebagai calon tunggal Kapolri.
- Memberhentikan sementara Ketua/Wakil Ketua KPK: Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto.
- Mengangkat PLT Ketua/Wakil Ketua KPK: Taufiqurachman Ruqi, Indrianto Seno Aji dan Johan Budi.
Oleh banyak pihak, keputusan Presiden disebut sebagai jalan tengah untuk meredam gejolak yang telah menyita waktu, tenaga, pikiran serta biaya (ekonomi). Mengomentari hal ini, pengamat politik LIPI Ikrar Nusa Bhakti (18/2/15) mengatakan:
"Nobody perfect. Tapi keputusan itu setidaknya mampu meredam gejolak serta kekisruhan yang telah mencampur adukkan antara hukum dan intrik politik."
Namun, sebuah keputusan selalu menyisakan pro/kontra. Yang pro tentu saja mayoritas masyarakat/rakyat yang menghendaki BG tidak dilantik sebagai Kapolri sesuai rekomendasi Tim Sembilan bentukan Jokowi. Yang kontra, tentu saja mereka yang punya kepentingan, yang selama ini ngotot agar BG dilantik sebagai Kapolri sesuai hasil sidang Paripurna DPR (15/1/15). Apalgi gugatan Pra Peradialan status tersangka BG telah dikabulkan oleh SARPIN, Hakim tunggal Pra Peradilan (PN) Jakarta Selatan.
Lantas hikmah seperti apa yang dapat dipetik dari kekisruhan antara KPK dan Polri?
Dengan ketajaman indera dan kecerdasannya, rakyat mencatat, rakyat menganalisa bahwa partai pengusung Jokowi (PDIP-NASDEM) sangat tampak kasat mata telah terlalu jauh mencampuri urusan Presiden. Hal i ni diperkuat pula oleh pernyataan Ikrar Nusa Bhakti, pengamat politik LIPI:
"Hambatan utama kinerja Presiden adalah partai pengusungnya sendiri, partai yang ajukan Jokowi sebagai Presiden, PDIP."
Apa boleh buat! Niatan Jokowi untuk menggalang koalisi tanpa syarat tak kesampaian. Jokowi harus mengalah untuk mengakomodir kader-kader partai pengusungnya agar ikut MENIKMATI KUE KEKUASAAN. Namun, oleh partai pendukungnya, upaya itu rupanya belumlah cukup. Mereka menginginkan sesuatu yang lebih, dan lebih lagi. Seumpama peribahasa, dikasih HATI malah minta JANTUNG & REMPELA.
Kedepan, kiranya Jokowi harus berhitung untuk mengesampingkan intervensi atau tekanan yang dilakukan oleh mereka yang merasa mengusungnya, juga pendapat sebagian pengamat politik, hukum Tata Negara serta parlemen yang sering mengatakan: "Tak perlu terpengaruh oleh opini rakyat."
Dengan kata lain, demi ketentuan hukum, abaikan saja suara rakyat.
Ironis memang. Mereka lupa bahwa opini dan pilihan mayoritas rakyatlah yang menjadikan Jokowi menjabat sebagai Presiden. Mereka lupa, tanpa rakyat, tak akan pernah ada negara. Itu artinya, tak akan pernah ada partai, parlemen, pengamat politik serta ahli hukum Tata Negara, titik!
- Materi pendukung tulisan ini dikutip dari berbagai sumber di Internet.
- Selamat sore Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H