Mohon tunggu...
Cinda Chantyka Dechia
Cinda Chantyka Dechia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Nulis pas mood aja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Digital sebagai Filter Kritis Diri pada Era ChatGPT

11 Juli 2023   17:38 Diperbarui: 11 Juli 2023   17:57 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar tampilan awal kolom ChatGPT (sumber:pexels)

ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer) merupakan produk OpenAI (Artificial Intelligence) yang gunanya sebagai sarana penyedia berbagai informasi kepada pengguna dengan sistem kerja melalui chat. Fenomena ChatGPT ini sedang menjadi sorotan, karena kemampuannya dalam memberikan respons kepada pengguna dengan cepat, rinci dan mudah dipahami. 

Ilustrasi pengguna Google dan ChatGPT (sumber:pexels)
Ilustrasi pengguna Google dan ChatGPT (sumber:pexels)
Bahkan pemberian informasi oleh ChatGPT ini nyatanya lebih cepat dibanding Google, sebab jawaban yang diberikan langsung tertuju secara khusus untuk pertanyaan yang ditanyakan oleh si penanya. Sedangkan Google, kita harus search satu per satu artikel yang relevan dengan pertanyaan, barulah kemudian kita bisa mendapatkan informasi yang dicari.

Namun, sistem adalah sistem. Tidak ada manusia yang sempurna, apalagi buatannya bukan? Meskipun informasi yang diberikan oleh ChatGPT terlihat masuk akal dan merupakan jawaban yang menjawab pertanyaan pengguna, bukan berarti seratus persen informasi yang diberikannya akurat. Hal ini dapat terlihat dari belum adanya pendapat yang mengatakan bahwa sumber jawaban dari ChatGPT terbukti akurat. 

Dosen pada Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Dr. Eng. Ayu Purwarianti, S.T, M.T, dalam wawancaranya dengan Satria Octavianus Nababan yang dikutip dari situs ITB, beliau mengatakan bahwa ChatGPT memiliki beberapa risiko, seperti tidak akuratnya informasi dan jawaban yang diberikan serta berpotensi terkena plagiarisme dikarenakan tidak jelasnya sumber data berasal dari mana-mana saja. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa ketika kita menginput pertanyaan ke dalam kolom chat pada ChatGPT, jawaban yang diberikan sebenarnya merupakan hasil karangan yang di generate per kata. Namun karena sumber datanya sangat banyak, maka karangannya sebagian besar pun benar. "Sehingga melalui penjelasan ini kita menjadi tahu konsekuensinya, untuk tidak terlalu percaya terhadap hasil dari chatGPT, karena pada dasarnya dia (ChatGPT) ngarang" ucap Dr. Ayu.

Sebab kembali lagi, ChatGPT hanyalah sebuah sistem, yang pasti memiliki ruang terbatas dalam memahami suatu pengetahuan secara mendalam. Sekalipun sistem ini dapat membuat sepuluh atau bahkan seribu plus, paling tidak akan ada satu yang menjadi minusnya. Minus yang dimaksud tidak hanya pada tools saja, melainkan bisa berdampak pada si pengguna.

ChatGPT merupakan sebuah bentuk kemajuan yang terjadi di era ini. Namun, kemajuan yang ada sepertinya malah membuat sebagian orang menjadi "mundur", dikarenakan ketergantungan. Dari ketergantungan inilah yang lama kelamaan akan muncul bibit manusia yang malas berpikir, kemudian secara perlahan kehilangan filter berpikir kritisnya. Padahal filter kritis dalam diri wajib dimiliki guna menghadapi pergerakan teknologi yang makin maju. Jika tidak adanya bekal ini, maka diri kita akan rentan terkena informasi yang tidak akurat bahkan hoaks yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Supaya hal tersebut tidak terjadi, untuk itulah diperlukannya filter kritis dalam diri dengan cara menumbuhkan kapasitas literasi digital yang cakap.

Ilustrasi orang yang terkena hoaks/fakenews
Ilustrasi orang yang terkena hoaks/fakenews

Literasi digital adalah sebuah kemampuan seseorang dalam mengenali dan memahami informasi di lingkungan digital secara bijak. Individu yang mempunyai kemampuan tersebut, dapat dipastikan menjadi individu yang "siap" dalam menerima segala bentuk perubahan. Kesiapan ini dapat terlihat, ketika kemajuan tersebut datang dengan segudang manfaatnya, di mana makin mempermudah kehidupan manusia, namun bukannya malah menjadi masyarakat yang "mundur", melainkan individu ini dapat mengoptimalkan potensi yang disediakan secara cerdas. Termasuk dalam mengoptimalkan kegunaan dari ChatGPT. 

Ilustrasi orang yang memiliki kemampuan literasi digital (sumber:dok.pribadi)
Ilustrasi orang yang memiliki kemampuan literasi digital (sumber:dok.pribadi)
1. Perbanyak Aktivitas Membaca dari Sumber yang Jelas.

Ilustrasi perbanyak membaca (sumber:pexels)
Ilustrasi perbanyak membaca (sumber:pexels)

Sebelumnya, Dr. Eng. Ayu Purwarianti, S.T, M.T, dalam wawancaranya dengan Satria Octavianus Nababan yang dikutip dari situs ITB, beliau mengatakan bahwa jangan terlalu percaya terhadap hasil jawaban dari chatGPT. Maksudnya dalam mencari suatu informasi, usahakan jangan hanya berpatokan pada satu sisi yaitu ChatGPT, utamakanlah sumber- sumber lain dan memiliki dasar yang jelas, misalnya dari buku atau jurnal terpecaya agar informasi yang dihasilkan pun valid. Inilah salahsatu tantangan dalam menumbuhkan literasi digital yang cakap dalam diri, kita benar-benar dipaksa tidak secara sukarela menelan bulat-bulat apa yang kita lihat dan baca. Jangan buru-buru dalam menerima informasi sebagai kebenaran yang mutlak, melainkan kita juga harus lihat dari bermacam sudut pandang. Dengan begitu, kita pun dapat terhindar dari yang namanya berita hoaks.


2. Jadikan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT ini hanya sebagai sumber informasi tambahan. 

Tampilan kolom chat di ChatGPT (sumber:pexels)
Tampilan kolom chat di ChatGPT (sumber:pexels)
Adakalanya, bahasa pada suatu sumber informasi memang menggunakan bahasa yang "tinggi", sehingga tidak heran sebagian orang sulit untuk memahami informasi yang dicarinya tersebut. Maka, gunakanlah kelebihan dari ChatGPT di sini, yaitu dalam memberikan informasi menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami, sebab memang programnya yang dibuat layaknya sedang bercakap dengan manusia dan responsnya pun yang sesuai. Dengan mengkombinasikan keduanya, informasi yang diberikan pun akan mendapat pandangan yang lebih luas dan mendalam, sehingga bisa lebih "memahamkan" si penanya informasi terhadap pertanyaannya.

Meskipun terlihat berada di sisi kontra dengan kemajuan yang ada, namun bukan berarti kita harus menghindar. Justru sebaliknya, kita seharusnya memanfaatkan kemajuan ini sebaik mungkin.  "Sebenarnya ChatGPT bermanfaat sangat banget buat membantu kita belajar, tetapi memang harus berhati-hati akan tujuan kita menggunakannya." ucap Dr. Eng. Ayu Purwarianti, S.T, M.T, dalam wawancaranya dengan Satria Octavianus Nababan yang dikutip dari situs ITB.

Jadi, artinya tidak masalah jika kita tetap terbuka dengan segala bentuk kemajuan yang ada, tetapi dengan catatan kita harus dapat berhati-hati dan bertanggung jawab. Untuk itulah, literasi digital yang cakap memang penting sebagai filter kritis dalam diri. Dengan memiliki dan memperkuatnya, secara tidak langsung kita sudah selangkah menuju menjadi masyarakat digital dengan pemahaman yang baik dan  mengambil keputusan yang lebih cerdas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun