Tanpa Sosialisasi
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah "laku". Persoalan kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar, pemerhati, dan peminata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.
Opini tersebut diperparaha dengan minimnya keteladanan dari "elite" tertentu yang seharusnya menjadi "patron" berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak "berdosa", bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum "elite".
Kedua, kurang gencarnya pemerintah --dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai "tangan panjang"-nya---melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan "jargon" kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan "Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar" yang sering kita baca lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam meng-"kodifikasi" kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa negara.
Tiga Agenda
Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generas yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahas ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.
Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik, bukannya malah melakukan "perusakan" bahasa melalui ejaan, kosakata, maupu sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal menjadi "patron" dan anutan.