"Lupakah kau siapakah diantara kita yang kejam, hayati?
Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik mamakmu,
karena saya asalnya tidak tentu,
orang hina dina tidak tulen minangkabau
Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan
Kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapapun lamanya
Tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih kaya-raya,
yang berbangsa beradat,
berlembaga berketurunanÂ
Kau kawin dengan dia.." Tutur Zainuddin kepada Hayati.
Kaya raya? Berbangsa beradat? Berlembaga berketurunan? Sehina itukah Zainuddin seorang pemuda rantau di pandangan rumpun masyarakat Minangkabau kala itu?
Tuan dan puan pembaca nan elok lagi bersahaja..
Ketika kasih Zainuddin tidak disambut tangan batih Hayati si gadis minang, sudikah kita mempertanyakan tuan. Tiada arti seekor harimau tanpa belang, tak ada harkat pemuda tanpa harta?
Bejatnya tingkah laku Aziz malah disongsong tangan kotor para ninik mamak yang menghajatkan pusaka berlimang. Hidup bermandikan kembang, tubuh berhiaskan berlian memang menarik hati. Tapi tidakkah engkau miris, puan? Ketika itu semua dijumpa dari kenaifan kepada orang-orang lemah.
Luruh hatiku di siang itu, tuan..
Tidaklah aku melihat kehormatan seorang pendidik yang dinodai ketamakan uang juga ringkih untuk berusaha. Mahajana di mata para penuntut ilmu, disegani oleh karib kerabat lantaran berpunya lagi berpangkat. Acuh tak acuh bendu civitas akademika ini dikarenakan betapa menggiurkannya kemewahan yang akan didapat dari pusaran kekayaan negara dengan memperbudak mahasiswanya nan lugu. Lumrah.. Biasa.. Sudah mendarah daging dalam buana pendidikan.
Namun tidak dengan ku, tuan dan puan..
Tak akan kubiarkan kehormatan ilmu direnggut oleh kemaruk nafsu.
Dari Zainuddin kita belajar.. Kemiskinan tak dapat menopang kebenaran, rendahnya status tak dapat mengampu keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H