Pendidikan Character Lebih Efektif  Melalui Teladan
Pendidikan character kembali di gemakan karena kekhawatiran semakin terdegradasinya akhlak anak bangsa. Konon kabarnya pada zaman dahulu pernah ada pendidikan character dengan nama budi pekerti, yang kemudian melebur dalam bentuk PMP, pendidikan moral pancasila yang setelah reformasi juga kembali berubah nama. Ada yang mungkin kita kurang pahami, bahwa character itu lahir dari kebiasaan yang dibiasakan melalui pembiasaan, hal mana seperti yang didefinsisikan dalam http://www.merriam-webster.com/dictionary/character, character adalah char·ac·ter nounˈker-ik-tər, ˈka-rik-: the way someone thinks, feels, and behaves,  someone's personality, a set of qualities that are shared by many people in a group, country, etc. a set of qualities that make a place or thing different from other places or things.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas character itu berkait dengan cara seseorang berfikir, merasa dan berperilaku atau berkait dengan kepribadian seseorang. Hal tersebut di pengaruhi oleh kebiasaan kultur di suatu tempat atau daerah tersebut hal inilah yang membuat cara berfikir dan bertindak seseorang berbeda disatu tempat dengan tempat yang lain. Untuk Negara kita Indonesia pengaruh agama dan budaya mewarnai character seseorang, namun yang sangat disayangkan dalam realitasnya, nilai-nilai agama kurang mampu mempengaruhi pola fikir seseorang.
Bisa kita lihat masalah bangsa yang cukup akut, korupsi. Dalam agama jelas perilaku korup itu dibenci, namun kebiasaan yang berlaku dimasyarakat berkait dengan hilangnya nilai-nilai keikhlasan dan kewajiban kerja menjadi luntur karena kebiasaan memberi yang salah kaprah. Misalnya dalam hal pengurusan sesuatu.  Sungguh sangat disayangkan, kebiasaan memberi yang salah kaprah ini terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia. Misalnya dalam masalah sertifikasi guru, untuk mendapatkan haknya, beberapa guru rela memberi pegawai diknas atau pegawai diknas memotong hak guru dan guru merelakannya biar uang itu cair, jika tidak memberi ada kekhawatiran akan dipersulit kelanjutannya.
Banyak perilaku korup yang seharusnya haram melintasi wilayah agama (depag) dan pendidikan (depdiknas), tapi kenyataannya dua di dua departeman ini aroma korupsi begitu terasa dinikmati, dan hal ini tentu saja sangat berbahaya untuk masa depan sebuah bangsa jika dibiarkan.
Kesadaran para guru dan penyelenggara pendidikan untuk membiasakan perilaku anti korupsi misalnya atau pembangunan character yang baik dengan contoh hidup, real life, role model dari mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan. Kerja sama yang harmonis antara lembaga pendidikan, guru, orang tua dan lingkungan harus terjadi dan saling mendukung, berjalan beriring. Sebab bisa dikatakan siklus hidup seorang anak manusia 50 % di rumah, 30% lingkungan masyarakat dan 20 % di sekolah. Sulit dibayangkan perubahan yang sangat luar biasa akan terjadi jika sekolah, rumah dan lingkungan bisa berkolaborasi mendidik character anak bangsa. Karena character akan tumbuh subur dengan pembiasaan dan contoh teladan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H