Jatuh cinta itu menyenangkan, apalagi dengan orang yang kita tunggu dan kita kagumi selama ini. Rasanya tiap pagi bangun tidur langsung ingin memegang hp berharap dia mengucapkan selamat pagi, dengan SMS atau telephon, um..rasa-rasanya indah nian dibayangkan. Setiap hari baru jadian jalan bareng, makan bareng, mengerjakan tugas bareng, serasa dunia ini hanya dipenuhi oleh kebahagiaan cinta berdua.
Indahnya jatuh cinta bisa diwakilkan dengan hal-hal yang indah dan bernuansa romantik, tapi tahukah anda rasanya setelah jatuh cinta itu pupus dan berganti dengan putus cinta? Hati serasa hancur, tak ada semangat hidup, males ngapa-ngapain, enggan untuk bertegur sapa dengan siapapun, juga sungkan untuk berpikir positif lagi tentang lawan jenis.
Bayangan buruk yang berlebihan agaknya mewakili putus cinta, namun kenyataannya para remaja zaman sekarang banyak juga yang mengakhiri hidupnya karena putus cinta. Kurangnya keterbukaan, kedekatan dengan orang tua juga bisa menambah semangat untuk mengakhiri hidupnya. Miris sekali membayangkan kehidupan remaja saat ini yang berfikir pendek dalam menangani masalahnya.
Kita ambil contoh, seorang remaja di Cina mengakhiri hidupnya dengan cara memposting step by step saat dia ingin mengakhiri hidupnya di social media Instagram. Alasan perempuan tersebut hanya karena putus cinta dan susah move on dari mantannya.
Ada lagi yang baru-baru ini santer menghiasi jagat media di Indonesia, baik Koran, televise, radio maupun online, yak Ade Sara Angelina Suroto yang meninggal akibat dibunuh oleh mantan kekasihnya yang dibantu oleh kekasih barunya si mantan, umur mereka baru 19 tahun, para psikolog menilai umur segitu masih rawan dengan ledakan emosi yang tidak stabil. Ada lagi kasus Mia yang di bunuh oleh mantannya dengan gir sepeda motor, sebenarnya si mantan bersama teman-temannya ingin mengerjai kekasih baru Mia namun naas malah justru Mia lah yang kena sabetan gir tersebut, dan akhirnya nyawa Mia pun tak tertolong.
Melihat keganasan emosi remaja saat ini, saat sedang sakit hati teramat ngeri dibayangkan. Apalagi bila itu terjadi pada kerabat kita sendiri. Berawal dari tidak terima, sakit hati yang membuat emosi memuncak dan pada akhirnya menciptakan hal negative untuk dilakoni. Betapa sangat brutal melihat dari umur mereka yang masih remaja. Masa studi yang masih panjang serta karir yang baik elak mereka dapatkan.
Ada baiknya untuk meminimalisir itu semua, peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat berpengaruh untuk mengubahnya. Anak menginjak remaja ke dewasa emosinya memang masih belum stabil, masih bergejolak untuk mencari jati dirinya. Bila orang tua bisa menjadi teman untuk berbagi cerita, kemungkinan besar sang anak tak akan merasa sendiri menampung bebannya. Cerita tidak harus melulu memberi solusi, mendengar dengan mimik menyenangkan pun sudah sangat berarti bagi si anak.
Tekanan-tekanan yang timbul karena sakit hati, bisa jadi memicu sikap temperamen. Sikap temperamen ini akan memicu sikap negative lain masuk dalam tubuh.
Awal semua sikap itu sebenarnya adalah tekanan dalam hati yang dirasa amat sakit setelah putus cinta ataupun rasa tidak terima, tekanan pada diri dalam keadaan ini memicu untuk melampiaskan apa yang ada dalam diri, dan otak akan berfikir keras bagaimana melampiaskan rasa ketidak terimaan yang dirasa. Hal seperti bisa dikategorikan stress negative.
Bila di ibaratkan gelombang otak, maka gelombang otak yang dihasilkan secara berlebihan adalah gelombang Beta. Dimana standar gelombang yang dihasilkan jauh dari rata-rata.
Untuk menanganinya, bisa juga ditangani oleh psikolog, curhat kepada orang tua, atau cara mudahnya mengolah kembali otak agar menjadi stabil. Bagaimana caranya? Mudah saja, gelombang otak yang tidak stabil, bisa diibaratkan seperti benang kusut namun masih bisa diluruskan akan tetapi membutuhkan waktu yang agak lama. Teknik gelombang otak tak jauh seperti memijat jaringan-jaringan saraf otak yang sedang kusut. Badan manusia saja setelah dipijat akan merasa rileks, maka otak pun tak jauh beda akan merasakan hal yang sama. Otak yang sedang merasa stress karena tekanan, berarti otak tersebut sedang “memanas”, apabila sedang memanas dengan tegangan tinggi otomatis jalan keluar dalam masalah tak akan terpecahkan. Berbeda bila tekanan otak yang sedang “memanas” didinginkan/distabilkan, maka perasaan tenang akan muncul. Setelah perasaan tenang muncul, jalan keluar untuk semua masalah pun akan datang dengan sendirinya. Otak yang stabil, maka tak sulit untuk berfikir bagaimana penyelesaian yang baik untuk masalah yang dihadapi.
Untuk menganggap masalah selesai dan cuek berpura-pura untuk tak terjadi apa-apa saya kira merupakan penyakit, mengapa demikian? Sebab dengan kita pura-pura tak terjadi apa-apa hanya untuk menenangkan diri sesaat, padahal dahal otak terus berfikir bagaimana cara menyelesaikannya pada akhirnya tanpa sadar mengubah pola pikir kita menjadi lebih sensitive sama halnya menambah masalah baru.
Jalan terbaiknya adalah kita harus berdamai dulu dengan diri kita, perbaiki pola pikir. Percayalah, bahwa dengan pikiran jernih, adem ayem, semua masalah yang dihadapi akan terasa ringan untuk dijalani. Dan bagi orang tua setidaknya mengenal lebih dekat dengan anak serta berusaha jadi temannya akan mencegah hal-hal buruk terjadi dalam pergaulannya .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H