Tulisan ini aku persembahkan untuk putriku yang lahir tepat di hari ini, 9 November 2021. Tepatnya pukul 23. 05 enam tahun lalu. Tanggal dimana menjadi sebuah catatan bersejarah dalam hidupku yang telah sempurna menjadi seorang ibu yang telah melahirkannya. Meskipun saya tidak mengklaim bahwa hanya ibu yang melahirkan saja yang sempurna sebagai wanita, sejatinya semua wanita sempurna dengan sifat keibuan yang ada dalam dirinya.
Tulisan ini bukan sebuah opini, karangan fiksi apalagi hasil dari penelitian. Tulisan ini hanyalah sebuah ungkapan perasaan yang selalu aku ulang setiap tahunnya, bahwa betapa aku bahagia telah melewati masa penantian selama mengandung hingga akhirnya melahirkan dia yang saat ini menjadi separuh jiwaku, separuh ragaku, sahabatku, temanku, bahkan dia segalanya bagiku.Â
Dulu, sekitar satu atau dua bulan sebelum HPL, aku adalah seorang pegawai atau karyawan di sebuah perusahaan Jepang di Hyundai Cikarang Bekasi. Pada saat ituada beberapa teman yang mengandung juga sama seperti saya. Namun usia kandungan saya yang memiliki HPL terakhir waktu itu, alhasil saya adalah karyawan terakhir yang mengambil cuti melahirkan dibandingkan dengan teman saya pada waktu itu. Setelah saya cuti dan tinggal di kampung bersama dengan ibu saya, satu persatu saya mendengar kabar bahwa teman saya sudah melahirkan semuanya dan tinggal saya yang menantikan proses lahiran yang amat saya tunggu-tunggu.
Sore itu, saya sedang beraktivitas seperti biasa, karena banyak yang member saran kepada saya untuk banyak melakukan aktivitas fisik agar melancarkan proses kelahiran. Sekitar jam 3 sore saya ke kamar mandi lalu saya melihat ada bercak di celana dalam saya yang menempel, setelah selesai buang air kecil saya ceritakan hal tersebut pada ibu saya.
Semenjak bidan desa sudah diberikan tanggung jawab untuk menangani setiap proses kelahiran penduduk desa setempat, peran dukun beranak kini sudah tidak diperbolehkan lagi untuk membuka praktek, namun di desa saya tinggal dukun beranak yang biasanya menangani ibu hamil akan melahirkan dijadikan asisten oleh bidan setempat, dia hanya dijadikan asisten untuk membantu proses melahirkan, dan peran utama tetap dilaksanakan oleh bidan desa, nah kita sebut saja asisten bidan ini dengan panggilan si bibi. Ibu saya yang mulai panik, karena sebenarnya ibu saya paling takut jika melihat anaknya yang mau melahirkan, dia pergi ke dukun beranak yang menjadi asisten bida desa. Setelah itu dukun beranak itu datang ke rumah saya dan memeriksa lubang pembukaan lahiran saya. Meskipun rasanya sangat tidak nyaman tapi saya pasrah saja.Â
Setelah si bibi periksa, dia bilang saya baru masuk pembukaan satu, jadi boleh segera datang ke klinik persalinan atau tunggu di rumah dulu. Namun akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke klinik agar jika ada apa-apa bisa segera ditangani.
Selepas mandi, shalat ashar saya pergi ke klinik menggunakan motor matic, sesampainya disana saya kembali diperiksa dan pembukaan sudah bertambah menjadi pembukaan empat, dan saya disarankan untuk berjalan-jalan di pelataran klinik yang cukup luas, saya mulai merasakan mules, ritme mules yang saya rasakan yaitu setiap 5 menit sekali. Pada saat menjelang magrib akhirnya saya kembali diperiksa pembukaan baru mencapai pembukaan ke enam.
Baru setelah isya pembukaan lengkap yaitu pembukaan sepuluh, saya mulai dibaringkan diatas bed dan disitu ketuban belum juga pecah, akhirnya saya merasakan bidan memecahkan ketuban anak saya dan saya di ajarkan untuk ngedebayi terdorong keluar. Disitulah perjuangan saya dimulai.Â
Entah cara saya ngeden salah atau ukuran bayi dalam perut saya yang terlalu besar jadi sulit keluar, namun saya yang hampir menangis diingatkan untuk tetap ngeden dan tidak boleh menyerah. Saya coba lagi, lagi dan lagi. Semua terasa mengganggu bagi saya, dan saya terus berjuang mengeluarkan bayi yang sudah maju mundur kepalanya di lubang lahiran. Akhirnya tepat pukul 23.05 tangisan bayi menggelegar mengisi seluruh ruangan klinik yang tidak terlalu luas, hingga pasien rawat inappun ikut berkomentar tentang suara bayi yang begitu keras tersebut. Aku bersorak Alhamdulillah.... Begitu kencang, namun bidan masih terus bekerja, sibuk mengeluarkan ari-ari bayi yang masih ada didalam perutku.
Setelah semuanya beres, bida mulai menjahit bagian robek kemaluanku dengan benang dan jarum, memang tidak terlalu terasa sakit pada bagian yang sudah dibius, namun ada satu bagian yang tidak kena bius di jahit itu sangat terasa perih sekali, rasanya jelas seperti kulit di tusuk jarum jahit lalu ditarik. Diakhir semua luka jahitan yang selesai dirapikan akhirnya di sumpal dengan kain kasa lutih yang berisikan parutan jahe, kira-kira bagaimana rasanya? . Ya begitulah...
Namun, rasa sakit yang saya rasakan saat itu terbayar dengan rasa bahagia saya yang akan segera melepas rindu dengan putri pertama saya, sy lihat dia sedang tidur, matanya terpejam, pipinya sabgat gembil, warnanya terlihat kemerahan dan dia tampak sangat lucu dengan rambut yang begitu lebat dan hitam.Â
Kuciumi dia, dan saat itu aku sangat bersyukur dan berjanji untuk terus belajar menjadi ibu yang baik untuknya, sampai kapanpun.
Tahun demi tahun kami lalui bersama setiap tanggal 9 November, tapi tahun ini putriku Arsy sudah mengerti arti ucapan dan doa saat megenang hari kelahirannya, semoga saja sejarah kelahirannya menjadi satu titik bahwa ia mengingat bagaimana ia lahir, dan mengingat bahwa betapa aku mencintai dan bersyukur akan kehadirannya ke dunia ini.Â
Harapan mama untuk Arsy, semoga kamu menjadi anak yang selalu bersyukur, sukses dan bermanfaat untuk semua orang. Mari kita gunakan waktu kebersamaan kita sebaik mungkin dengan saling mencintai dan saling menguatkan satu sama lain, karen kamu dan mama adalah sahabat seoaruh jiwa.
.
I love you Arsy
From MamaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H