Mohon tunggu...
Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pesan Ranting

16 Januari 2017   21:26 Diperbarui: 16 Januari 2017   21:44 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu bulan belum sepenuhnya purnama,taburkan cahaya usir gelap di belahan bumi Kutai Kartanegara.Di atas bukit kulihat gemerlap lampu di sudut kota asik bercengkrama pulaskan tidur sebagian penduduknya,setelah berkutat dengan urusan dunia hingga akhiratnya.
Sesakali mengadahkan ke angkasa,bulan masih tersenyum,bintang berkedip menambah indah ciptaan-Nya,partikel keindahan yang tak tertembus oleh panca Indraku.
Di pucuk daun akasia yang beranjak remaja angin berhembus dinginkan suasana,bara api sisa membuat kopi hangatkan tubuh.dalam temenungku lantas bertanya. 
bagaimana jika Tuhan tak menciptakan api ..? 
mungkin aku bisa membeku kedinginanan,atau menambah perut kembung kebanyakan angin. 
.
Malam terus melaju,sinar bulan perlahan menyemu tertutup awan yang bergumpal menjadi satu. 
tak tertahan rasa kantuk di 1/3 malam terlelap dalam tidur dengan ceritaku yang kian usang. 
Sesaat pejamkan mata ,telingaku menangkap suara uak -uak di bawah perbukitan,sayup -sayup ayam muali berkokok,suara adzan bersahutan dari langgar,masjid dengan pengeras suara mengajak kita untuk menghadap dan mengaggungkan-Nya dengan segenap Cinta. 
Menyambut pagi di atas bukit tak seperti harap .warna jingga sang mentari tak lekas hadir akibat tertutup mendung yang masih ragu turun sebagi hujan, wujud salam rindu langit kepada bumi.
Di ujung bukit ku dengar sebagian pengunjung memaki atas cuaca ada juga yang tetap bersyukur masih mendapati halimun.
Demikianlah ragam otak manusia seolah leluasa mengatur -mengatur Tuhan dengan berbagai harap dan pinta. 
.
Hari kian menerang,ku lihat pohon berdiri tak beradaun,menjulang ke angkasa dengan tetap percaya bahwa Tuhan memberi jalan yang berbeda,pada titik kenikmatan yang tak pernah di sangka oleh manusia yang enggan merasakan.
Lewat ranting pohon menitipkan pesan pada angin: 
"sampaikan pada mendung agar lekas turun menjadi hujan,bukan hanya aku ( kata pohon ) yang kehausan.tapi para bungapun ingin mekarkan kelopaknya dengan riang gembira bersama rianaimu,juga para penganggur agar khidmat menyeruput kopinya di beranda rumah,atau mereka yang menjadi pengantin baru juga perlu hujan,jangan Hiraukan manusia yang masih pongah menyebutmu musibah kerena merka enggan memberikan hakmu untuk terus mengalir.Aku juga tak mau mengering,aku ingin menumbuhkan tunas baru,namun aku juga percaya akan kuasa takdir.

Agar mereka percaya dan yaqin bahwa :
Tanpa Tuhan mencipta semesta, awanpun tak ada. Tanpa Tuhan mencipta awan hujan pun tak ada. Hujan berasal dari awan, awan terkandung dalam perut semesta, semesta ciptaan Tuhan. Hujan tidak dapat mencipta dirinya sendiri, iya membutuhkan selain dirinya untuk eksis demikan manusia

.
Bukit Biru 8 Januari 2017
Desa Sumber Sari - Kecamatan Loa Kulu
Kabupaten Kutai kartanegara
.
Cikal
cobo ingin belajar Nulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun