Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ku Aamiinkan Saja Dulu

13 Mei 2022   00:01 Diperbarui: 13 Mei 2022   00:03 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku suka menangis, karena menurutku dengan menangis banyak hal terluapkan dengan sempurna. Menangis adalah klimaks terhadap segala hal yang berhadapan denganku.
Aku bisa tertawa lepas, sampai suaraku menghilang perlahan dan air mata mengikuti dari belakang.

Biasanya kalau sudah seperti itu Bram ikut tertawa, intonasi tertawanya kurang bagus sehingga lebih mirip penonton bayaran Dahsyat yang sedang menonton almarhum Olga bercanda dengan Raffi padahal pikirannya lagi melayang ke sejumlah uang yang akan diterima nanti. Semakin banyak tertawa, semakin ramai, semakin banyak jam untuk jadi penonton bayaran maka semakin banyak pula cuan yang bisa disimpan untuk masa depan, setidaknya satu tahun ke depan.

Aku pun bisa terdiam, dengan sangat lama. Jika pada akhirnya tak ada yang paham dengan diamku, aku bereskan semua perlengkapanku, turun sedikit ke arah kedai kopi di lantai satu, memesan kopi panas take and go, menarik nafas lebih dalam dan lebih lama lalu mengencangkan safety beltku, menyalakan radio dan mulai menyimpan kaki pada pedal gas yang sudah distel dengan tingkat amarah yang baru saja lewat.

Tiga puluh menit adalah waktu yang pas untuk aku berdrama dengan diriku sendiri, dengan sedikit lebay biasanya seperti ini adegannya;
"Ya Tuhan, cukup. Kurang apalagi ujian untukku? Apa aku terlalu kuat sehingga Engkau biarkan aku seperti ini terus?"
atau seperti ini, "Oke fine Tuhan, saya ikhlas. Jika memang jalanku seperti ini, ini yang terbaik yang Engkau berikan" kemudian setelah itu sesenggukan, berkaca sebentar, memastikan pose menangisku ga jelek-jelek amat.

Damn and shit. Berlebihan seorang Dru menjadi seorang perempuan. Terlalu feminim dalam soal rasa namun sangat maskulin dalam berdebat dengan semua orang termasuk Bram.

"Hai, sudah lama di situ?"
"Lumayan."
"Lumayan lama atau lumayan kesal atau?"
"Lumayan bikin pantatku tepos"
"Hahahaha...bisa saja kamu. Apa kabar hari ini? Aku perhatikan kamu banyak tertawa hari ini"
"Memang kalua aku banyak tertawa, itu pertanda baik?"
"Ya, setidaknya kamu tampak lebih manis jika dibandingkan dengan melipat muka sepanjang hari"
"Oh"
"Kamu itu tidak bisa sedikit luwes begitu? Jangan judes banget deh jadi perempuan"
"Memang kamu siapa? Mengatur tingkat keluwesan aku yang bahkan kamu sendiri tidak tahu kaku dan luwesku sampai level mana"

Ga betah lama-lama berbicara dengan orang yang tidak kuharapkan datang. Tumbennya tidak ada satu mahluk pun yang berniat menculikku sekadar lepas dari obrolan basa basi yang sangat tidak kusukai.

"Kamu itu judes Dru. Bagaimana caranya laki-laki betah sama kamu kalau begini terus."
"Aku punya level judes versiku sendiri. Kalau sampai seseorang menyampaikan semua jeleknya aku, ya pertanda aku tidak suka dengan orang itu. Pertanda aku tak berharap dia berlama-lama denganku. Pertanda aku muak didekati laki-laki dengan segala label kesulatanannya berharap mendapatkan barbie berbalut kebaya."
"Ya ga begitu juga Dru. Tapi mbok ya senyum gitu lo!"
"Duh udah deh. Tadi siapa sekarang siapa, kalian sudah tidak tahu mesti ngapain ya, sampai tugasnya itu ngikutin aku?"
"Ih Dru.."

Cyndi melengos. Membiarkan Dru sendirian di bangku taman yang perlahan satu persatu sudah mulai meninggalkan baunya di situ.
Tidak ada seorangpun yang dapat membuat Dru Kembali seperti Dru yang dulu. Bram sekalipun.

"Sok tahu, memang seberapa besar pengetahuanmu tentang masa laluku?"
Kamu yang setiap hari melihatku dari pagi hingga malam. Kamu yang setia mendengarkan segala keluh kesahku. Kamu yang terus bertahan di ranting coklatmu, dengan segala upaya kamu tetap meminta agar Tuhan biarkan kamu tetap ada di situ. Setidaknya hingga aku mulai bosan bercerita atau hingga aku sudah dapat penggantimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun