Bulan masih di tempat yang sama, terang menerangi langit yang ditiup angin dengan genitnya. Tepat di depan mesjid Salman, kulihat kembali pemandangan yang membuatku menghentikan mobilku lalu kutatap dalam-dalam.
Sebuah keluarga kecil dengan seorang anak yang begitu gembira melakukan gerakan ke kanan ke kiri, loncat setinggi lutut Ayahnya, Ibunya sibuk mendokumentasikan lompatan-lompatan gadis kecilnya dan sang Ayah siap menangkap kalau-kalau lompatannya terlalu tinggi atau malah membuat jatuh mencium tanah.
"Bu, besok aku ikut shalat lagi ya, biar aku dapat coklat lagi dari ayah."
"Loh, adek mau shalat apa mau dapat coklat?"
"Dua-duanya dong Ibu, aku shalat biar disayang Allah sekaligus dapat hadiah dari ayah, tidak apa-apa kan Ayah?"
"Nda, nda papa kok sayang, dengan kamu ikut ke mesjid saja, harganya jauh lebih mahal dibandingkan coklat yang kamu dapat."
Air mataku menetes, aku bahagia melihatnya. Dan tahukah kamu, pemandangan seperti ini yang aku mau, dan aku tak punya.
Aku ingat, dulu Bapak yang selalu bawa aku ke mesjid, walaupun Ibu kadang sibuk di dapur, susah sekali Bapak ajak ke mesjid, tapi Bapak selalu sabar tunggu Ibu di teras agar Ibu kasihan melihat Bapak lalu akhirnya Ibu ambil wudhu dan ikut Bapak ke Mesjid. Lalu dengan penuh tawa, aku didandani Ibu, diikat ekor kuda rambutku, dipasangkan kerudung oleh Ibu, dibekali mukena, lalu kami sama-sama pergi ke mesjid.
Kata Bapak, dengan kami terbiasa seperti ini, in sya'a Allah kelak kau dan keluargamu akan merasakan hal yang sama kelak.
Ah Bapak, kali ini Bapak keliru. Aku tak sampai pada masa itu.
Entah aku yang terlalu sibuk, atau aku yang tak pandai merajuk atau mungkin memang kesalahanku hingga aku merasa, bahwa bahagiaku hanya sampai pada masa Bapak dan Ibu saja.
Apa salahku Pak, hingga akhirnya aku sampai pada titik yang tidak aku kehendaki.
Aku tak mau seperti ini, aku tak pernah memintanya, bahkan aku jijik melihat diriku sendiri. Tapi Pak, jika aku mau bilang sama Bapak, kali ini aku tak bisa berdusta, kali ini aku ingin memikirkan diriku sendiri, aku ingin seperti Bapak dan Ibu, bersama hingga maut memisahkan.
Kamu tahu, aku pernah menjadi perempuan dengan garis kodrat yang kutulis tegas. Aku pernah mengabdi dengan mengabaikan kepentinganku sendiri, Aku pernah menelan ludah saat tak ada satupun yang bisa kutelan.