"Rei, aku lupa bawa mukena. Bisa aku pinjam?"
"Di sini tidak ada mukena Dru. Memang kamu tidak sadar ya?"
"Maksudnya?"
"Tuh."
Kulihat Bunda Maria di ruangan besar tempat Opa bersantai. Kuperhatikan lagi ada tanda salib saat menuju kamar Oma.
Aku pulang dengan bingung. Haruskan aku ceritakan pada Ibu. Tapi undangan telah dicetak. Lagi pula Rei muslim. Kenapa aku harus khawatir?. Bukankah toleransi akan lebih baik aku lakukan daripada aku mulai meragu.
Rupanya di sini salah satu kesalahanku.
Bersujud aku memohon ampun pada-Nya. Bukan karena alasan tidak menghargai umat-Nya dengan agama yang berbeda. Namun bertahun-tahun menikah tanpa pernah beribadah di tempat yang sama, sungguh membuat aku menangis.
Bukan ini yang aku inginkan. Aku mau pengganti Pras yang lebih baik.
Shalat sendiri, puasa sendiri, tarawih sendiri dan berjuang hiduppun akhirnya sendiri.
Adzan Ashar sudah berkumandang. Perasaanku tidak karuan, sengaja aku berdiam dari mulai Dzuhur tadi. Hanya pada Tuhan aku dapat bercerita hingga lega.
"Hei, kamu Dru. Kita cari dari tadi, rupanya kamu di sini. Kok kamu tidak ajak kita sih?".