Rupanya Pras tidak suka saat diusir dari kantorku. Maka tepat di hari ke-17 Ramadhan, dia datang ke rumah. Aku yang sedang siap-siap berangkat tarawih, kaget karena pintu kamarku didobrak. Didorongnya aku ke sudut tempat tidur lalu dicekiknya leherku serta ditekannya ujung pigura besi tepat di urat nadiku.
Aku pasrah.
Jika memang harus mati. Matilah.
Perawakan yang tinggi besar membuatku tak bisa melawannya, menangis tak juga menyelamatkanku saat itu.
Tuhan, jika aku masih diberi kesempatan untuk perbaiki hidup. Singkirkan Pras dari hadapanku.
Ibu datang sambil berteriak, ditendangnya Pras lalu kami berlari keluar kamar dan Pras mengejar dengan muka penuh amarah.
Sampai hari ini masih aku ingat perlakuan Pras yang sulit aku maafkan.
Trauma sempat selimuti kehidupanku. Setiap kali ada yang mendekat untuk menjadi pasanganku membuatku menangis menjadi-jadi. Aku takut jika setiap lelaki yang mendekati aku hanya ingin memanfaatkanku lalu mencelakaiku.
Cukup aku berjuang untuk Pras. Kebodohan yang telah dilakukan telah membuat Metta dan Nadya geleng kepala. Bisa-bisanya aku lepaskan kehidupan normalku hanya untuk seorang Pras.
Tak pernah lagi menulis, tak pernah lagi naik gunung. Tak boleh punya teman, tak boleh nongkrong sana sini. Jam berapapun kuliah, Pras sudah siap menjemput dan jam berapun aku pulang, Pras sudah siap di koridor gedung kelasku.
Kehidupanku berubah total. Hidupku hanya dari rumah, kampus, rumah, kampus. Mampus lama-lama.