Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu Waktunya Tiba

8 Agustus 2020   02:36 Diperbarui: 8 Agustus 2020   02:38 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by pixabay.com

Saya duda dua orang anak, anak-anak dibawa oleh ibunya.

Shock, saat membaca pesan di handphone Rei. Sekian lama kami menjadi suami istri, baru kali ini aku bisa melihat dengan jelas semua isi handphonenya. Sebaris kata yang dia sampaikan pada seorang perempuan membuatku menelan ludah.

Tidak ada tangis, setidaknya Tuhan jawab pertanyaanku.

Beberapa detik aku terpana. Sekian banyak pertanyaan yang disudutkan oleh Metta dan Nadya tidak mengubah penilaianku pada Rei.
Niatku kala itu menikah adalah karena Tuhan. Maka aku percayakan semua pada Tuhan.

"Dru, aku kok heran ya dengan perlakuan Rei sama kamu. Kamu yang bolak balik Bandung Jakarta setiap minggu, tiba di Bandung kamu tidak pernah dijemput lalu sampai rumah kalian malah ribut."

"Memang kenapa Met. Biasa saja sih. Kan jalanan lagi macet banget, sampai Bandung aku jam 3 pagi. Wajar lah dia tidak bisa jemput."
"Lah Dru, tidak wajar dong. Kamu itu perempuan, masa tidak ada khawatir sama sekali."
"Aku naik taksi. Kamu santai saja. Tidak berani aku pakai Gojek atau Gocar atau apalah itu. Bandung kan riskan di jam seperti itu,"

"Ini sudah berkali-kali aku sampaikan. Kamu harus bergerak."

"Ini bergerak Met, kalau tidak bergerak ya aku mati."
"Bodo ah Dru."

Kuambil air wudhu, sengaja tidak ajak Metta dan Nadya. Aku hanya ingin ngobrol dengan Tuhan sedikit lebih serius.

Satu kali aku diselamatkan Ibu. Pacarku yang telan menemani aku selama delapan tahun hampir saja membunuhku.

Atas alasan yang tidak jelas tiba-tiba dia datang ke kantorku lalu mencari aku sambil berteriak. Kuusir saat itu. Karena aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun