Maaf bila keterbatasanku membuatmu murka. Sudah bukan lagi sanjung dan hormat yang bisa kuberikan, sampai pada titik yang tak pernah aku guratkan dalam nasib dan takdirku, aku tak berkuasa rasa itu telah datang.
Sudah seharusnya aku mampu untuk berjuang, menolak sebuah rasa itu untuk selalu dapat menegakkan benteng yang pada akhirnya kalah karena skak yang dilakukan sang raja, apakah ini rokade yang baik?Bukan, jangankan mengikuti aturan rokade, dari warna nya saja sudah dengan jelas berbeda. Hitam dan Putih, bukan Hitam Putih, bukan juga Hitam bersama Putih. Sungguh rasa yang sangat tidak diinginkan, bernama Pratirasa
Pratirasa...
Seharusnya aku tutup pintu rapat-rapat untuk dia, sejengkal saja dia datang , dengan yakin aku katakan, rusak lah semua hasrat yang selama ini aku coba rajut walaupun terputus, aku coba rekatkan walaupun terpecah dan aku pertahankan walaupun terkoyak. Tak sebaiknya aku membiarkan dia menyetubuhi aku, masuk kesetiap bagian sensitifku sampai aku mengerang, aku benar-benar tak sanggup menahan, aku menjadi seorang pendosa.
Harus bagaimana aku?Â
Pratirasa...aku tak pernah mengundangmu. Sungguh aku sangat menjunjung adat, sungguh aku sangat menjunjung hormat dan dengan sangat yakin aku sangat menjunjung kodratku sebagai perempuan. Kenapa kau selalu menggodaku, meliuk dalam setiap laku yang disajikan. Sepertinya kau jadi pemeran utama dalam pergulatan hitam dan putih kali ini.
Aku bukanlah seorang pelacur yang tersenyum saat kau sisipkan bayaranmu untukku. Aku lebih dari itu. Aku yakin pelacur saja menangis setelah menjajakan tubuhnya, sebaliknya aku merasa puas saat pratirasa padamu semakin menggebu. Aku pendosa yang sangat hina.
Rasanya jalan setapakku makin menyempit, aku sudah tak menemukan batas aku melangkah, aku tak menemukan satupun sumber cahaya dalam ayunan langkahku. Aku buta, sungguh aku ada pada titik nadir seorang pendosa, aku tak sanggup untuk mengangkat daguku, aku lemah.
Bila saja harakiri adalah perbuatan yang sangat mudah, aku akan ambil keputusan itu.
Tak sebaiknya aku masih bisa menarik garis bibirku, seharusnya aku buat kelu agar lengkap sebuah caci hinggap padaku.
Aku mampu bersorak seakan dunia berpihak padaku, padahal jauh dalam hati terdalamku, aku tak punya apapun yang dapat menggenggamku dengan erat, tidak ada satupun. Aku biarkan lenganku ini berpapasan dengan pasangannya, hanya itu temannya, tak ada yang lain.