Tahun pelajaran baru 2020/2021 sudah berjalan. New normal, memaksa pembelajaran berjalan lewat daring terus berlanjut. Mulanya dikira akan sangat mudah dan berjalan lancar. Ternyata susahnya minta ampun.
Pada saat semua siswa dikenali. Saat tatap muka harus berhenti, kita sebagai guru telah dengan jelas mengenal siswa. Demikian juga siswa mengenal guru. Pembelajaran tinggal pindah dari luring ke daring. Kendala hanya pada proses menerangkan dan interaksi saja.
Namun, pada saat berhadapan dengan siswa baru  tanpa tatap muka. Ternyata seperti berada di atas mimpi. Bagaimana tidak, siswa tidak mengenal guru. Demikian juga guru tidak mengenal siswa satu persatu.
Pada saat grup WA dibuka dengan siswa per kelas, untuk melengkapinya saja tak cukup waktu seminggu. Ketika jumlah siswa yang dalam satu kelas seharusnya 33, grup WA hanya terisi 80% nya saja. Bagaimana guru akan menghubungi jika tidak tahu siapa siswanya. Di mana tempat tinggalnya, dan seterusnya.
Demikian juga ketika berada dalam classroom, harusnya 33 siswa semua berada di classroom tersebut jangankan 80% yang sudah masuk grup WA tadi yang mengisi classroom. Ternyata isinya kurang dari 80% yang sudah masuk grup WA.
Tidak sampai di situ saja. Dari semua yang sudah masuk classroom pun tidak semua yang hadir ketika proses belajar mengajar secara daring dilaksanakan.
Tercatat ketika dalam dua pertemuan diamati yang telah saya lakukan, kurang dari separo yang mengisi daftar hadir. Padahal di grup wa sudah diberitahu bahwa proses belajar mengajar daring sedang berlangsung.
Demikian juga tugas yang diberikan kepada siswa ketika proses belajar mengajar berlangsung, hanya sebagian kecil yang menyelesaikannya. Ketika dikonfirmasi, alasan yang diberikan siswa memang bervariasi.
Sebagian ada yang menyatakan bahwa HP yang digunakan adalah milik orangtua. Ketika mereka bekerja otomatis HP tidak berada di tangan siswa. Ada juga yang meminjam HP kakak atau keluarga lainnya. Jadi pasti pada saat pembelajaran daring berlangsung tidak maksimal.
Alasan lain yang sungguh membuat kita para guru mengelus dada adalah hesarnya dana yang harus dikeluarkan untuk proses daring tersebut. Saya membayangkan, kalau saya saja untuk setengah bulan menghabiskan 12 GB paketan. Jika dikonversi dengan uang menggunakan jaringan telkomsel maka seharga 104.000 rupiah.
Ok, anggaplah siswa menggunakannya paketan tersebut dengan kuota tersebut, artinya orangtua siswa harus mengeluarkan sejumlah dana sebesar itu khusus untuk keperluan olnine anaknya.
Berbeda dengan siswa yang berasa di kota besar, mereka mampu memilih provider lain yang lebih murah. Kalau berada di desa kami, satu-satunya jaringan iya yang itu saja. Jadi mau tidak mau hanya jaringan itu yang digunakan.
Mungkin saja pertimbangan lain bagi orangtua adalah uang sebanyak itu adalah pengganti jajan mereka ketika harus berangkat ke sekolah. Tak masalah memang, namun ternyata anak tetap meminta kepada orangtua mereka untuk jajan mereka.
Akhirnya sebagai orangtua, apa saja tetap dilakukan demi kebaikan anak mereka.
Jika proses belajar daring ini berlanjut dalam waktu lama, saya sebagai guru merasa sangat khawatir hasil maksimal dapat diperoleh pada pembelajaran ini. Berbeda ketika dahulu ada SMP terbuka. Siswa memang secara khusus dengan paketan khusus belajarnya mandiri. Dengan buku berupa modul yang dirancang untuk belajar secara mandiri.
Kali ini buku yang ada belum bersifat pembelajaran mandiri, jika bentuknya modul, sudah terstruktur, ada materi pelajaran, ada contoh, ada latihan dengan kunci jawaban dan ada tes formatif beserta pembahasannya. Jadi siswa bisa dan terbiasa belajar mandiri.
Oleh karena itu menurut hemat saya, jika tetap saja pembelajaran berlangsung secara daring, sesegera mungkin kementrian mengeluarkan kebijakan kurikulum yang memberikan peluang kepada guru untuk menggunakan sistem pembelajaran dengan modul, seperti pada SMP terbuka.
Alangkah lebih baik lagi jika modul tersebut segera dirilis Kementrian Pendidikan menggantikan buku yang ada sekarang, dengan tetap menggunakan materi pembelajaran yang telah ada, sistem bukunya saja dibuat dalam bentuk modul yang bisa diakses oleh seluruh guru dan siswa di semua jenjang, mulai dari SD hingga SMA.
Dua pertemuan terakhir saya coba, memang sedikit repot. Tapi tak mengapa demi memudahkan siswa.
Dengan membuat modul per pertemuan dengan materi pelajaran yang saya coba sederhanakan, alhamdulillah hanya dengan menggunakan WA saja proses belajar mengajar daring berlangsung sangat baik.
Respons siswa juga sungguh menggembirakan. Tak banyak pertanyaan dan kebingunan siswa. Mengingat setiap materi ada contoh dan uraiannya beserta soal dan pembahasannya.
Siswa tidak lagi sibuk mencari materi tambahan lewat konten-konten daring yang jelas-jelas menyedot kuota mereka. Apalagi proses pencarian bagi orang baru ladang begitu menyesatkan. Sehingga apa apa yang dicari malah tidak ketemu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI