Mohon tunggu...
Hidwar Norseha
Hidwar Norseha Mohon Tunggu... Guru - PNS

Berbuat yang terbaik demi membahagikan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wahai Ayah, Wahai Ibu, Anak Itu Peniru!

10 Juli 2020   18:50 Diperbarui: 10 Juli 2020   18:48 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Air kucuran atap pantang jatuh ke tanah tetangga.

Begitulah kira-kira ungkapan yang biasa disampaikan ketika perilaku orangtua ditiru oleh anak-anak mereka. Jika yang dilakukan baik, maka anak pun akan mengikuti kelakuan baik tersebut.

Dan mengerikannya, kelakuan jelek yang perbuat orangtua begitu cepat ditiru dibanding perilaku baik mereka.

Pernah suatu ketika saya mendengar cerita. Pada saat itu terdengar ribut-ribut di rumah sebelah. Ternyata esok paginya sang ibu tetangga tersebut bercerita.

Di keluarga itu memiliki beberapa anak yang masih di bawah 10 tahun usianya. Kehidupan di desa memaksa anak-anak bermain di luar rumah.

Begitu senja tiba, sang ayah meminta anaknya untuk segera mandi dan memakai baju koko. Maksudnya agar mereka bersiap-siap berangkat ke surau untuk salat maghrib.

Si ayah berkali-kali meminta anaknya agar segera mandi, namun anak-anaknya masih asyik saja bermain di halaman rumah, mainan lumpur!

Melihat ke dua anaknya tak jua beranjak dari tempat bermainnya, maka si ayah mengambil bilah untuk memukul anak tersebut sambil berteriak-teriak agar mereka segara mandi.

Maka si anak, katanya menyahut, "Ayah saja belum mandi. mengapa menyuruh kami mandi." Sambil mereka tetap berkejaran menjauh.

"Coba mandi dan mengajak kami ke surau pasti kami akan ikut," gerutu salah seorang pada yang lainnya.

Si ibu yang mendengar komentar anaknya tersebut senyum-senyum sendiri. Terang saja anaknya tak ada yang mau diminta untuk mandi. Karena si ayah yang meminta mandi pun belum mandi.

Apalagi memintanya berangkat ke surau, sedangkan si ayah tak pernah berangkat ke surau dalam waktu lama.

Ocehan, perintah, dan larangan sekeras apa pun diberikan pada anak akan menjadi angin lalu, sebentar kemudian hilang. Anak akan melihat apa yang dilakukan orangtua mereka, kemudian mencontohnya.

Apalagi kebiasaan yang satu ini, menggunjing! Paling cepat ditirukan oleh anak. Orangtua yang bisa ngerumpi dan menggunjing orang lain akan didengar anak.

Banyak orang membawa kebiasaan menggunjing sejak masa kecil. Kebiasaan ini merupakan refleksi dari apa yang ia dengan dan lihat sejak kecil di sekitar mereka.

Karena itu, para orangtua memikul tanggung jawab besar untuk melindungi anak-anak mereka dari menggunjing.

Pertama-tama orangtua harus menahan diri dari kebiasaan membicarakan keburukan orang lain. Si ibu tak sepatutnya menggunjing tindakan-tindakan tetangganya atau sanak saudaranya ke pada si ayah.

Begitu pula si ayah jangan sampai menjelek-jelekkan teman-teman atau kenalannya kepada si ibu. Sebab bila orangtua memiliki kebiasaan menjelek-jelekkan orang lain di belakangnya, anak-anak juga punya peluang meniru pembicaraan semacam itu.

Meminta anak berbuat baik saja tak cukup. Orangtua seyogianya memberikan contoh. Demikian juga kebiasaan buruk sekecil apa pun yang dilakukan orangtua akan dilihat dan didengar anak. Mereka akan mencontoh kebiasaan tersebut.

Jadi karena anak-anak merupakan kertas putih kosong yang siap dicoreti apapun isinya. Akan jadi hitam jika ditulisi hitam. Akan jadi hijau jika diberi warna hijau. Semua tergantung dari orangtua dan lingkungan sekitarannya.

Oh iya, kalau ibunya cerewet kira-kira anaknya akan cerewet tidak ya? Atau kalau misalnya ayah sering berkata kasar, kira-kira anak akan ikut berkata-kata kasar tidak?

Satu lagi, pengalaman menarik yang pernah saya alami. Beruntunglah kita hidup hampir setengah abad. Banyak yang telah kita lihat. Banyak yang telah diamati.

Ceritanya, dahulu ketika belum pindah di tempat tinggal yang sekarang. Saya kebetulan bertetangga dengan keluarga pemarah.

Bila si ayah marah, biasanya terdengar teriakan-teriakan dan umpatan kasar dari mulutnya. Tak hanya itu, si ibu juga ternyata membalas tak kalah sengit. Sahut menyahut seperti burung berkicau bersahut-sahutan.

Demikianlah waktu berjalan. Dan setelah pindah rumah, kebetulan bertetangga dengan sang anak dari keluarga tersebut. Anak laki-lakinya yang kini juga telah berkeluarga. Maklum tinggal di komplek, jadi jarak rumah satu ke rumah lainnya sangat dekat.

Persis si ayah. Anak laki-lakinya ketika marah tak bedanya dengan ayahnya. Beruntungnya kali ini si istri hanya diam tak menyahut seperti ibu mertuanya. Jadi pertengkaran hanya berlangsung singkat. Mungkin tak ada perlawanan, pikir saya.

Yang membuat geli, kok bisa sama persis sih, gaya si anak dengan si bapak saat marah. Berarti si anak telah berhasil meniru ayahnya ketika marah.

Kalau yakin anak akan mengikuti apa yang dilakukan orangtua mereka, maka hati-hatilah dalam berbuat dan bertindak. Anak adalah peniru sejati orangtua mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun