Namun, sejauh perkembangan penegakan hukum lingkungan di Indonesia, perhitungan tersebut hanya sebatas nilai ekonomi akibat carbon release dan carbon reduction. Salah satu contohnya adalah karhutla yang terjadi pada tahun 2015 di Sumatera Selatan, dimana melalui gugatan No.24/Pdt.G/2015/PN.Plg KLHK menggugat ganti kerugian lingkungan terhadap PT. Bumi Mekar Hijau dengan tuntutan 3 kategori ganti kerugian yaitu; kerugian ekologis, kerugian ekonomis, dan kerugian keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika.Â
Kerugian atas emisi karbon sendiri masuk kedalam kategori kerugian keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika, dimana perhitungannya hanya sebatas biaya pemulihan agar ekosistem kembali seperti semula dan pemulihan daya rosot karbon, tanpa mempertimbangkan potensi penerimaan negara yang berkurang akibat proses emisi karbon tersebut. Hal demikian juga terjadi dalam gugatan No. 591/Pdt.G-LH/2015/PN.Jkt.Sel, yang hanya menuntut biaya pemulihan carbon release dan carbon reduction,
Belajar dari pengalaman diatas, dengan penyampaian updated NDC pada tahun lalu dan diterbitkannya Perpres 98/2021, sudah cukup mencerminkan niat baik pemerintah dalam pengendalian penurunan emisi karbon dunia. Dengan keseriusan tersebut, seharusnya perhitungan NEK yang menjadi potensi penerimaan negara dari penyelenggaraan NEK masuk sebagai instrumen ganti kerugian lingkungan, baik melalui mekanisme peradilan maupun kesepakatan antara KLHK dengan pemegang izin terkait. Bahkan jika diperlukan, pemerintah juga dapat mengatur secara rigid mekanisme dan metode penghitungan ganti kerugian NEK akibat kerusakan lingkungan melalui instrumen peraturan perundang-undangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H