Mohon tunggu...
Cicik Retnowati
Cicik Retnowati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu rumah tangga dengan 2 orang putra. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain adalah salah satu motto hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini Vs Kartono

30 April 2014   16:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:01 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peringatan hari Kartini memang sudah lewat masanya. Tanggal 21 April sudah berlalu dan kini sudah berada di ujung bulan April. Kaki kita sejengkal lagi menapak ke bulan Mei. Tapi apa salah kalau saya hendak menuangkan sepenggal kisah Kartini sekarang. Sudah ketinggalan momen? Ah biarlah. Lha wong saya baru sempat menulisnya sekarang. Yang penting saya menulis.

Sudah terkenal di seantero jagad negri ini jika R.A Kartini adalah seorang putri berdarah biru yang memiliki punya banyak teman bule. Buktinya? Bisa dilihat di buku kumpulan surat-surat Beliau kepada sahabat-sahabatnyadi Negeri Belanda yang berjudul Door Duisternis tot Lich, dan oleh Armin Pane diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Tapi bukan sahabat bulenya itu yang akan saya bahas. Tapi, sebenarnya apa yang ingin diperjuangkan oleh R.A Kartini ini. Karena setiap sampai tanggal 21 April, yang ramai diperbincangkan selain Beliau adalah pejuang Emansipasi, adalah ramainya kaum hawa berbusana daerah, karnaval, atau berkebaya dan bersanggul model R.A Kartini. Apa ini salah?. Tidak. Saya tidak mau menyalahkan, karena untuk ukuran saat ini benar dan salah itu relatif sifatnya. Lalu Apa?. Saya hanya menyayangkan saja. Karena setiap momen hari Kartini tiba, yang ada adalah perayaan dan seremonial!. Kering dari hakikat perjuangan R.A Kartini yang sebenarnya. Lha memangnya saya tahu apa tentang perjuangan Kartini? Apakah saya keturunannya? Bukan. Saya bukan siapa-siapanya Kartini. Saya adalah perempuan generasi millennium. Ibu masa kini yang berusaha mengeja, membaca dengan seksama apa-apa yang tersirat dan tersurat dalam surat-suratnya itu.

Saya dapatkan di sana -di buku itu- bahwa yang sesungguhnya diharapkan oleh Kartini bukanlah kesamaan derajat dan posisi (kedudukan) wanita dengan pria dalam segala bidang. Kesamaan hak dan kewajiban. Atau apa yang mereka sebut sebagai emansipasi itu. Tapi, sebuah perjuangan keras beliau mendobrak budaya dan adat istiadat yang memang tidak arif pada wanita di masanya dan begitu membeda-bedakan asal usul keturunan seseorang. Di masa itu wanita dibatasi pendidikannya. Wanita dianggap rendah dan tak ada hak suara dalam kehidupan rumah tangga. Sebuah budaya yang saat ini dikenal denga sebutan patriarki. Di sisi lain, kehidupan sosial masyarakat saat itu begitu feodal. Sangat kentara membedakan kelas. Antara pribumi dan nonpribumi -saat itu yang berkuasa adalah etnis Belanda- , antara rakyat jelata dan bangsawan berdarah biru. Demikianlah. Kartini melawan arus yang ada.

Mari kita baca bersama-sama surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Nah… jadi apa yang diinginkan oleh Kartini?. Beliau inginkan agar saya dan para perempuan negri ini menjadi cerdas agar kecerdasan dan keluasan ilmu yang kita punya itu bisa kita gunakan untuk menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya, mendidik mereka. Dan itu disadari oleh Kartini sebagai kewajiban. Kartini di masa itu telah keluar dari “kotak”nya. Out of the box.

Lalu, bagaimana dengan surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902? Beliau sampaikan: “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”.

Hmmm nah lho… Tegas Beliau sampaikan bahwa dalam masyarakat Eropa yang nampak indah itu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Ini pendapat Kartini tentang Eropa.

Lalu… apa hubungannya dengan Kartono?. Siapakah gerangan dia?. Kartono yang saya maksud di sini adalah laki-laki masa kini. Seorang ayah dari anak-anaknya dan suami dari istrinya yang setia. Mohon maaf jika ada kesamaan nama. Kartono seorang pekerja biasa di sebuah pabrik. Dia adalah ayah yang bertanggung jawab. Ulet bekerja. Bahkan berangkat pagi pulang malam karena harus kerja lembur demi sesuap nasi (bukan berlian) untuk keluarganya. Berbeda nasib dengan Kartini yang bangsawan, Kartono adalah rakyat biasa. Yang ketika tanggal tua, bisa makan nasi hangat dengan lauk tahu tempe dan sambal terasi saja sudah terasa nikmat tiada tara. Dia tak setenar Kartini karena jasa-jasanya. Keberuntungannya adalah namanya yang beti (beda tipis) dengan Kartini. Hanya beda di huruf “i”. Keberuntungannya itulah yang membuat orang mudah mengingat namanya. Lebih dari itu tidak ada. Sehingga masyarakatpun tak perlu menentukan hari kelahirannya untuk diperingati dan dirayakan. Dia hanya cukup merasa bahagia karena ada hari buruh yang jatuh tgl 1 Mei di setiap tahunnya untuk mengenang nasib dan ketidak berdayaannya sebagai rakyat biasa. Eh besok ya?. Nah masih on moment kan?

Kartono juga sedikit lebih beruntung dibanding teman-teman lelakinya yang telah lolos eksekusi PHK di pabriknya. Pabrik memberhentikan mereka dan lebih memilih para wanita untuk menempati posisinya. Bukan karena mereka tak mampu bekerja. Tapi, karena tenaga kerja wanita lebih teliti katanya, dan yang pasti bisa dibayar murah. Lalu, bagaimana nasib teman-temannya itu?. Mereka yang beruntung, buka usaha sebisa-bisanya. Yang lain, merasakan “nikmat”nya menjadi ayah rumah tangga.

Di mata Kartono, ini adalah penindasan. Ini adalah sebuah ketidak adilan. Dia bersama teman-teman seperjuangannya berusaha keras berteriak. Ini tak benar. Kami adalah tulang punggung keluarga. Sedangkan mereka, para wanita itu, mereka tercipta dari tulang rusuk pria. Jadi, tak layak jika menjadikan tulang rusuk sebagai tulang punggung. Itu menyalahi kodratnya. Bukan. Ini bukan demi harga diri sebagai seorang laki-laki yang tak ingin diinjak-injak oleh wanita. Atau karena ingin mengembalikan kembali tampuk kekuasaan pria atas wanita. Tapi ini menyalahi sunnatullahNya. Tapi, suara mereka hilang tertelan gema emansipasi wanita. Semua perempuan berlomba keluar rumah. Bahkan merasa terhina ketika mereka hanya menyandang gelar sebagai Ibu RT (Ibu rumah Tangga). Dan meratapi nasib ijazah kuliahnya. Menyesal telah sekolah tinggi tapi ujung-ujungnya hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur.

Kadang Kartono pun tak sepenuhnya menyalahkan mereka para perempuan itu. Toh dalam beberapa bidang, kehadiran perempuan-perempuan terampil dan cerdas itu memang dibutuhkan. Dalam kondisi yang lain,kadang mereka berada pada posisi yang serba salah. Tak ingin mereka tinggalkan anak-anak dan menitipkannya kepada neneknya karena itu pasti membebani di usia tuanya. Atau, membayar orang untuk mengasuhnya itu juga sama saja karena pasti bertambah pengeluaran keuangan keluarga. Lalu apa?. Para perempuan itu kadang merasa terpaksa harus berjibaku memeras keringat membantu suami mereka agar asap dapur tetap mengepul. Harga kebutuhan pokok rumah tangga yang terus berkejar-kejaran dengan upah, rumah yang tak kunjung bisa dimiliki dan terima nasib sebagai kontraktor, sekoalh anak-anak, belum lagi kalau ada yang sakit. Atau kalau ada tetangga yang pamer perhiasan, baju, dan perabot? Mana tahan... Inilah kehidupan masa kini yang dihadapi Kartono. Gaya hidup yang serba materialistik. Hedonis, dan dipenuhi dengan kebijakan-kebijakan yang cenderung berpihak kepada para kapital. Dimana-mana uang yang berbicara. Dapatkah para pembaca yang budiman merasakan apa yang dirasakan oleh Kartono?

Kartini dan Kartono. Mereka hidup pada jaman yang berbeda. Tapi, mereka sama-sama hidup dalam bayang-bayang kehidupan yang tak patut disebut peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun