Mohon tunggu...
Cici Badriyah
Cici Badriyah Mohon Tunggu... Lainnya - Sosiologi 4B

Mahasiswa UIN WALISONGO Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasib Kaum Proletar di Tengah Pandemi Covid-19

3 Juni 2020   19:50 Diperbarui: 3 Juni 2020   19:51 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa bulan terakhir ini, Dunia digemparkan dengan mewabahnya virus Corona yang berpusat di Wuhan, Tiongkok. Sudah ada Jutaan orang terinfeksi virus tersebut khususnya di Indonesia sendiri, kasus positif COVID-19 semakin meningkat setiap harinya. Penyebaran virus tersebut sangatlah tidak wajar karena disebabkan oleh pola konsumsi yang tidak selayaknya. Setidaknya terdapat dua implikasi yang timbul akibat dari penyebaran virus tersebut.

1. Terjadinya perubahan pola hidup sehat yang sangat radikal, dimulai dari pemilihan jenis makanan untuk dikonsumsi, meningkatkan daya kritis masyarakat terhadap manipulasi tanda merk dan rasa dalam seriap produk (hiperrealitas), terjadinya perombakan dan pengawasan dalam bidang kesehatan.
2. Masyarakat dunia berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah inovasi teknologi pencegahan dan pemmbersihan virus yang dapat berefek pada kapitalisasi masal pada instrumen medis. Dimana jika inovasi tersebut memiliki kerentanan maka virus akan dengan mudah menyebar dan bisa saja melahirkan virus-virus baru.

Ada banyak sekali perubahan yang terjadi di seluruh belahan dunia khususnya Indonesia dengan hadirnya wabah COVID-19. Dampak yang dirasakan masyarakat akibat COVID-19 sangat signifikan khususnya dalam bidang ekonomi. 

Produksi pada perusahaan-perusahaan swasta , industri bahan baku maupun barang jadi, tempat-tempat hiburan komersial seperti, tempat kuliner, perhotelan, dan sektor ekonomi swasta lain tentu kehilangan pendapatan karena sepinya pelanggan atau pengguna jasa. 

Dan hal tersebut sangat mempengaruhi frekuensi dari produktivitas ekonomi dimana pemilik modal harus banting stir agar perusahanan tidak gulung tikar atau setidaknya mampu sedikit bertahan dan dialihkan ke sektor lain. Karena hal inilah PHK pada buruh-buruh pabrik dan semacamnya dilakukan secara besar-besaran dengan anggapan agar terhindar dari kerugian tanpa memikirkan dampak yang terjadi pada kaum buruh tersebut. 

Proses pembayaran upahpun kini harus mempertimbangkan aspek penghasilan yang semakin menipis dimasa pandemi ini agar tidak terjadi ketimpangan antara akumulasi keuntngan demi mempertahankan usaha agar tidak betul-betul mengalami collapse. Pihak perusahaan mati-matian mempertahankan usahanya, disisi lain para buruh mulai geting dan khawatir terlebih mereka yang sudah ter-PHK, lalu bagaimana nasib mereka selanjutnya?.

Banyak dari mereka yang menjadi pengangguran, dan tak sedikit yang mulai bangun dari keterpurukan yaitu dengan mendirikan usaha kecil-kecilan. Namun tetap saja hal tersebut dirasa kurang cukup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu pada saat Hari Buruh (May Day) salah satu tuntutan yang disampaikan adalah perusahaan diminta untuk memenuhi hak dan tidak jadikan pandemi sebagai alasan PHK. Ketua SPSI Jabar, Roy Jinto Ferianto mengatakan kondisi tersebut diperparah dengan tidak terpenuhinya hak buruh secara utuh. “Tak sedikit kebijakan itu dilakukan dengan tidak membayar upah secara penuh bahkan ada juga pekerja yang tidak mendapatkan upah” kata dia melalui pesan singkat, Jum’at (1/5)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun