Mohon tunggu...
Rama Nuansa
Rama Nuansa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Wa: 082137191548, (civil, cakap, jurnalism, terpercaya, independent)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dear, Surat yang Tak Terbalas

18 Juli 2021   01:16 Diperbarui: 18 Juli 2021   01:35 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Surat ini berasal dari jeritan hati kami untuk Negri Pertiwi ini, melihat kondisi  dua minggu PPKM darurat. Di tengah pertikaian kita yang seharusnya bisa bersama-sama membantu dalam melaksanakan PPKM Darurat kita malah berbenturan satu dengan yang lainnya. 

Kewajiban sandang pangan papan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadikan alasan untuk meminggikan ego kami diri sendiri.

Kami tak bisa makan ketika rejeki sehari-sehari yang telah kami tunggui ternyata tersendat dalam emosi yang tertuai pada narasi pandemic ini. Ego dalam pemikiran diri sendiri kita tinggikan bersama, maksud bapak/ ibu petugas sangat berbaik hati, agar mengingatkan betapa berbahaya nya pandemic yang terjadi di Negri ini.

Serumpai sumpah kita memerjuangkan ego untuk siapa yang benar maupun siapa yang salah. Hukum yang seharusnya memerlakukan adil tapi malah mencekik kami secara perlahan. 

Bapak /ibu tuan yang terhormat,surat ini aku agungkan dalam gaungan nusantara. Tak bermaksud menyinggung, ,menyindir bahkan menyudutkan bapak /ibu yang dikhendaki, tetapi maksud goresan kata ini agar pahami nurani dari kami. 

Dear pemangku jabatan, aku berterima kasih telah dilahirkan di negri 1001 kekayaan yang luar biasa berlimpah. Dengan segala kecukupan serta keramahan yang terjadi saat aku kecil hingga bisa menulisi surat untuk  bumi nusantara.

 Aku tau bapak/ iBu yang terhormat, kalian cukup peduli dengan rakyat seperti kami. Dan kami sadari sendiri menjadi hal kewajiban untuk menuruti kebijakan yang terjadi.

Dear Pemimpin negri, sejuta air mata telah membungkusi dua minggu terakhir di bumi Pertiwi. Sudah saatnya kita harus sadari bersama, ada hal yang genting yang perlu kita garis bawahi. 

Ditengah perut lapar, deraian keringat, untaian emosi yang tertuai dalam caci maki menjadi kan kita perbedaan. Aku, kamu, Kita, Yang digariskan Tuhan yang Maha Esa untuk saling memutar roda perkonomian negri seharusnya saling bersinergi.

Sudah banyak sedih duka yang kita rasakan dalam dua minggu terakhir ini menjadi kan kita lupa, siapa kita sebenarnya. Surat ini bukan surat kecil biasa, sebuah harapan nan agung nan indah memacu kita untuk kembali lagi bersatu dalam negri ini. 

Pandemic ini memuat pola pikir kita bersama-sama menjadi terjajah lagi. Kita tau bersama kita tidak ingin terjajah, bahkan terjajah dengan ego sendiri.

Akhir kata, Pandemi segera berakhir, cukupkan perbedaan antara kita mari bangun, bersinergi untuk kemajuan negri. Bersatu Membangun Sinergi, Jayalah selalu negri pertiwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun