Mohon tunggu...
Rama Nuansa
Rama Nuansa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Wa: 082137191548, (civil, cakap, jurnalism, terpercaya, independent)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Retorika (RCTI, Tempo) Menuntut Youtube, Instagram, dan Beberapa Platform Lainnya

28 Agustus 2020   23:23 Diperbarui: 29 Agustus 2020   12:11 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Media saat ini sedang kalang kabut dalam membawa pasar, bahkan salah satu media terbesar stasiun telivisi swasta yaitu RCTI akan menguggat ke MA yang mengarah kepada UU No. 32 tahun 2002 tentang penyerian. Pasar teknologi memuat media besar yang semula diam-diam dalam keuntungan perlahan merasa terusik.

Pasalnya pasar yang digunakan anak muda milenial lebih mengarah pada aplikasi serta platform hal ini lah yang memuat media sebagian kalang kabut. Namun yang merasa terusik, dan lebih unjuk gigi dalam tanding di kandang hukum. Tentunya regulasi mengenai platform belum diatur lebih lanjut. 

Teknologi berkembang pesat bahkan sebelum dari ini media cetak TEMPO juga sudah kelabakan dalam hal pendapatan. TEMPO sendiri mengatakan influezer dari platform mendapat anggaran dari pemerintah.

Tentunya pemerintah ingin menargetkan lebih terarah ke publik, media pers yang bermula duduk di kursi goyang kini merasa terbangun dari kursi goyang tersebut. Karena pasar tak lagi bermain kepada mereka, anak muda yang ditargetkan lebih meluangkan waktu ke aplikasi android dibandingkan membaca koran ataupun menonton telivisi. 

kenapa anak muda lebih memilih platform dibandingkan media? hal ini disebabkan karena keefisensi, anak muda lebih banyak menghabiskan waktu dengan android, ios, atau merk komunikasi lainnya.

Media cetak, perlahan tergerus karena tidak adanya ketarikan pada anak muda karena design dari media cetak berupa begitu-begitu saja yang membuat anak muda merasa bosan akan konten yang ditampilkan media.

Media dirasakan tidak Indepensi dalam mengulik konten, menurut berapa survey tentang kepercayaan media dalam mengupaskan konten dirasa lebih rendah kepercayaan dibawah lembaga DPR,bahkan Pihak kepolisian.

Berangkat dari kepercayaan inilah anak muda khususnya pasar lebih tertarik akan retrorika teori konspirasi dari beberapa tokoh yang membawa di sebagian platform. Lemahnya riset yang mendalam media dalam mengulik dan mengupas konten yang ingin disampaikan terkadang memuat publik merasa jijik yang diberikan media. 

Terkadang media lebih mengubah dan berdalih dalam penyampaian berita yang tidak akurat dengan kejadian perkara dalam konten. Sehingga kehausan skeptis dari penonton tentunya merasa kurang puas, memuat penonton harus lebih mencari refrensi konten lebih lanjut.

Kurang terperincinya lebih mengarah kepada narasumber yang menurut media harus disampaikan pada satu sumber saja. Seharusnya media lebih mengarah kedua prespektif dari narasumber.

Ini akan memuat jalan pikir pembaca lebih terpuaskan, karena seseorang manusia tidak bisa dipaksakan dalam satu sisi. Dengan penyampaian yang banyak sisi, tentu akan membuka pemikiran terhadap konten tersebut.

Kreativitas acara dibeberapa media berdasarkan pasar tahun yang ketinggalan. Ini lebih mengarah ke arah personal dari media tersebut, sehingga dalam penyampaian berita akan memuat sekat pada penyampaian berita. Kita dapat melihat dengan pola pemikiran media dari beberapa tahun, waktu aku kecil kita sering menonton konten yang dimana baik akan selalu menang dibandingkan jahat.

Begitu pula dengan mistisisme yang dibangun media ditengah publik akan memuat publik merasa mistisisme melekat dalam budaya tanah air. Tentunya peralihan mengenai mistisisme dibawa media dengan hubungan sosial serta lainnya. Tidak disalahkan sebagian pola masyarakat Indonesia menuntut padanya percaya pada mistis. Padahal dalam agama lebih jelas mengenai hal tersebut. 

Pendepatan media masih tetap dikatan cukup baik dibandingkan platform. Persaingan sesama media tidak ditakutkan lagi dalam jumlah besar pendapatan iklan dari media bisa dihitung sekitar 180 triliun, jauh dibandingkan platform yang hanya 1/10 dari media sekitar 10 triliun.

Tentunya dengan proses yang dimiliki media lebih banyak mengeluarkan pengeluaran dibandingkan platform. Biaya proses dari platform dapat dikatakan kecil, karena platform hanya menyediakan aplikasi sedangkan media akan membiayai operasional berupa penerbitan karya, proses peliputan, serta menggaji karyawan yang dimiliki.

Namun dari semua media yang sudah besar, masih ada media kecil yang melihat pasar. Seperti media platform yang lebih mengkaji tentang permasalahan sosial, berupa peliputan pekerjaan, prespektif media dalam menilai kebijakan.

Media yang kecil akan menjadi besar ketika teta[ mempertahankan nilai fungsional dari jurnalism. Menurut penulis sendiri, media media platform berdiri asas sendiri tanpa memegang kekuasaan dan tetap memperlihatkan nilai esensi dari jurnalisme sesungguhnya.

kesimpulan dari penulis sendiri bisa dapat dikatakan, sebagai media tentunya harus mempertahankan ideologi dari masing-masing media. Membuat kreativitas yang mengikuti pasar tentu akan tetap bertahan dalam bisnis media. Serta dengan memberikan prespektif yang beda dari mainstream media sampaikan dengan batasan tidak melanggar dari nilai-nilai jurnalism.

Penulis juga ikut berperan walaupun masih belum di katakan aktif menyampaikan informasi kepada hal layak publik. Pasar akan menentukan siapa yang bertahan dalam bermain di media. Tentunya dengan pendirian yang kokoh dan goyah semangat jurnalisme akan membuka mata Indonesia dalam melihat suatu hal.

salam jurnalis, salam pena, salam indepen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun