Generalisasi Sejarah
Generalisasi Sejarah menurut Kuntowijoyo Adalah pekerjaan penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang tersedia dapat menjadi dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya, dan merupakan accepted history. Generalisasi dapat dipakai sebagai hipotesis deskriptif, yaitu sebagai dugaan sementara. Generalisasi Sejarah dapat spesifikasi, atau bahkan anti generalisasi bagi ilmu lain. Generalisasi Sejarah bertujuan dua hal : 1) Saintifikasi, dan 2) simplifikasi.
SaintifikasiÂ
Generalisasi sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yang lebih luas. Teori di tingkat makro seringkali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat mikro. Misalnya, bagi Marxisme, semua revolusi adalah perjuangan kelas. Mula-mula tesis ini dipakai untuk menganalisis Revolusi Prancis, kemudian dipakai juga untuk semua revolusi, termasuk yang terjadi di Amerika Latin. Khususnya mengenai Revolusi Perancis, mereka berpendapat bahwa revolusi itu adalah perjuangan kelas borjuis dan petani melawan kaum feodal. Dari penelitian sejarah, ternyata generalisasi itu tidak benar.Â
Simplifikasi
Simplifikasi diperlukan supaya sejarawan dapat melakukan analisis. Demikianlah, Madura dapat disederhanakan sebagai daerah dengan ekologi tegal yang selalu mengalami kelangkaan sumber. Penyederhanaan yang ditentukan lewat pembacaan itu akan menuntun sejarawan dalam mencari data, melakukan kritik sumber, interpretasi, dan ppenulisan. 'Memang, ada metode penelitian sosial yang menganjurkan supaya orang datang ke lapangan dengan kepala kosong. Anjuran itu paling tepat bagi sejarawan. Akan tetapi, cepat atau lambat, orang harus melakukan penyederhanaan supaya ia dapat menulis kan sesuatu.Â
Macam-Macam GeneralisasiÂ
Generalisasi konseptual
Disebut generalisasi konseptual karena di dalamnya berupa konsep yang menggambarkan fakta.
Generalisasi Personal
Dalam logika, ada cara berpikir yang menyamakan bagian dengan keseluruhan atau pars pro toto. Generalisasi personal juga berpikir seperti itu. Misalnya, kita berpikir seolah-olah Pan-Islamisme adalah Jamaluddin Al-Afghani, pembaruan Islam di Mesir dengan Muhammad Abduh, svadeshi di India dengan Gandhi, kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno-Hatta, dan, Orde Baru dengan Presiden Soeharto. Tentu saja itu tidak terlalu salah, hanya saja hal itu berarti kita meniadakan peran orang-orang lain.Â
Generalisasi spatial
Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikiran sehari hari membuktikan hal itu.Â
Generalisasi kultural
Para pelaku sejarah sendiri kadang-kadang melakukan genera lisasi kultural. Tidak ada anak-anak ulama yang masuk sekolah umum sebelum kemerdekaan. Dan sebaliknya, Belanda pernah menyamakan haji dengan rentenir. Dalam laporan Mindere Welvaart Commissie, jumlah haji di Madura sama persis dengan jumlah rentenir.
Generalisasi sosial
Bila kita melukiskan suatu kelompok sosial dalam pikiran kita, maka sudah timbul generalisasi. Kata petani barangkali mem punyai konotasi yang bermacam-macam, sesuai dengan tempat dan waktu yang dibicarakan. Dalam bahasa Inggris, ada perbedaan antara peasant dan farmer. Petani di Eropa dulu dan di Tiongkok lama lebih sesuai disebut peasant karena terikat dengan tanah dan bertani lebih sebagai jalan hidup ketimbang sebagai usaha. Baik di Eropa dan di Tiongkok ada feodalisme. Akan tetapi, bagi petani di Indonesia umumnya, meskipun tidak ada feodalisme, tetapi ada patrimonialisme; petani juga lebih tepat disebut peasant. Karena itu, peasant biasa diterjemahkan dengan petani, sedangkan farmer dapat diterjemahkan dengan pengusaha-tani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H