Mohon tunggu...
Chita Wijono
Chita Wijono Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kehilangan

16 Juni 2024   21:52 Diperbarui: 16 Juni 2024   22:08 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pernahkah anda kehilangan orang yang disayang? pasti semua orang pernah merasa kehilangan. Ada yang kehilangan kekasih hatinya, ada yang kehilangan orang tuanya, ada yang kehilangan anaknya dan lain sebagainya.  Bagi saya, kehilangan terberat yang saya rasakan adalah pada saat ibu saya meninggal. Saya benar-benar merasakan dunia saya tidak ada artinya lagi. 

33 tahun yang lalu, saya kehilangan ayah. Pada saat itu usia saya masih 13 tahun. Ayah saya meninggal karena sakit jantung yang sudah dideritanya selama kurang lebih 2 tahun. Setelah ayah saya meninggal, ibu saya bekerja keras untuk menghidupi kami bertiga. Adik kedua saya saat itu masih kelas 6 SD dan adik ketiga masih kelas 4 SD. 

Dengan 3 anak yang masih kecil-kecil ibu saya berjuang sendiri, beliau menyampaikan pada saya kalau tidak mau menikah lagi karena ingin bertemu ayah di surga. Ibu saya adalah seorang ibu yang sangat ulet dan gigih , Alhamdulillah ibu saya bekerja, beliau adalah seorang pegawai Pemda kabupaten malang.

 Di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai pegawai pemda, ibu saya menyempatkan membuat kue sagon yang bahannya terbuat dari tepung dan kelapa parut, kue sagon itu di jual untuk menambah kebutuhan kami. Selain itu ibu saya juga membangun kos-kosan dari hasil tabungan beliau ditambah uang duka dari kantor ayah. Dari hasil kos-kosan itulah ibu menghidupi kami bertiga hingga kami bertiga menjadi sarjana dan bekerja di bidang masing-masing.  

Pengalaman hidup saya bersama ibu sangat luar biasa. Teringat tatlaka saya mendapat panggilan kerja di salah satu SMK di Turen kabupaten malang. Saat itu saya belum bisa nyetir sepeda motor, idengan menyemangati saya, ibu bilang "Ayo kita berangkat ke Turen, ibu yang mbonceng" akhirnya berangkatlah saya ke Turen dengan di bonceng ibu padahal saat itu ibu baru saja pulang kerja . 

Beberapa Minggu setelah saya memasukkan lamaran kerja, Alhamdulillah saya diterima dan 2 tahun kemudian, saya mengundurkan diri dari SMK tersebut dan melamar kerja di salah satu SMA di kota malang.

Pengalaman lain adalah pada saat ibu sakit, dan hal inilah yang membuat saya benar-benar menyesal. Lebih tepatnya penyesalan terbesar saya. Pada saat itu sedang ramai pandemi covid 19. 

Beberapa hari setelah kontrol dokter, ibu terlihat tidak enak badan. Beliau lebih banyak tidur, pada saat akan diperiksakan ke dokter ibu tidak mau, karena khawatir dianggap kena covid. Ibu saya punya riwayat penyakit diabetes dan beliau rajin kontrol ke dokter, pada saat beliau sakit juga tetap mengkonsumsi obat dari dokter. 

Pada saat itu, ibu bertanya pada saya mengenai kemungkinan saya menjadi PNS, karena saat itu status saya adalah guru honorer di salah satu SMA di kota Malang. 16 tahun saya menjadi guru honorer dan pada saat itu usia saya 42 tahun sehingga kemungkinan untuk diangkat menjadi PNS sudah tidak mungkin. 

Pada saat itu saya sampaikan pada ibu, bahwa saya sudah tidak bisa ikut seleksi tes CPNS dan saya sampaikan pada ibu supaya beliau mengikhlaskan saya tetap menjadi guru honorer. Waktu itu ibu saya memaksa supaya saya tetap ikut seleksi CPNS, akhirnya saya sampaikan pada ibu kalau saya sudah tidak bisa ikut seleksi tersebut, tetapi saya masih bisa ikut seleksi PPPK yang saat itu baru saja dibuka oleh pemerintah. Tiba-tiba ibu saya bilang

"Gak apa-apa, ikut seleksi itu saja" dan saya masih tetap bilang tidak mau dan ibu tetap memaksa, akhirnya saya sampaikan pada beliau, 

"Kita lihat nanti saja Bu" ujar saya tidak antusias sama sekali. Setelah menyampaikan hal tersebut, keesokan harinya ibu minta punggungnya di gosok menggunakan minyak kayu putih. Saya menggosok punggung beliau dan mengurutnya pelan-pelan. Tiba-tiba saya teringat kata-kata teman saya yang baru saja terkena covid, beliau bilang kalau salah satu cirinya adalah tidak bisa membau. 

Iseng saya cium tangan saya yang terkena bekas minyak kayu putih saat menggosok punggung ibu. Deg ... jantung saya rasanya terhenti, saya tidak bisa mencium aroma minyak kayu putih di tangan saya. Saya coba mencium tangan saya lagi untuk memastikan dan hasilnya masih tidak tercium. 

Saya segera menuju dapur dan menggerus bawang putih. Menurut saya mungkin bau bawang putih yang menyengat bisa saya cium, tapi ternyata aroma bawang putih pun tidak tercium, seketika tubuh saya lemas dalam hati saya bilang, saya harus segera melakukan swab. Begitu suami saya pulang dari bekerja saya segera minta antar ke PMI untuk swab dan hasilnya, saya positif terpapar covid . 

Setelah pulang dari PMI, saya menyampaikan hal tersebut pada ibu, dan saat itulah saya merasa seperti makan buah simalakama. Disatu sisi saya sangat ingin mendampingi dan merawat ibu saya yang sedang sakit, tapi di sisi lain saya harus isolasi mandiri karena khawatir kalau ibu tertular covid yg saya derita. Dengan berat hati, akhirnya saya tinggalkan ibu untuk isolasi mandiri. 

Selama saya melakukan isolasi mandiri saya hanya mendengar berita tentang ibu dari suami dan adik-adik saya. Saya ingin video call tapi ibu tidak bisa menerima karena kondisi beliau semakin memburuk, bisa video call pun hanya melihat ibu saja tanpa bisa berkomunikasi dengan beliau. 

1.minggu sebelum ibu meninggal, hampir setiap malam antara sadar dan tidak, saya seperti bermimpi kalau ibu saya meninggal tapi saya selalu menolak hal itu, saya berusaha meyakinkan diri saya kalau ibu saya pasti sehat. Tetapi saya salah, ibu saya meninggal pada saat saya selesai isolasi mandiri. 

Hancur rasanya hati saya, saya tidak bisa menemani ibu pada saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya, saya tidak bisa menemani beliau pada saat sakitnya, saking sedinya saya tidak bisa menangis. Orang bilang, saya orang yang paling tegar karena saya bisa menahan tangis saya, tapi mereka salah sayalah yang paling rapuh. Hingga detik ini penyesalan itu  selalu menghinggapi saya 

2 bulan setelah kepergian ibu saya, pendaftaran PPPK dibuka, saya kembali galau antara mengikuti amanah ibu supaya saya ikut pendaftaran tersebut atau mengikuti keinginan saya sendiri yang tidak mau mengikuti seleksi tersebut. Dalam hati saya bilang, untuk apa saya ikut seleksi, ibu saya sudah pergi tidak ada yang bisa saya perjuangkan lagi. 

Tetapi suami saya mengingatkan amanah ibu, akhirnya mau tidak mau saya ikuti seleksi PPPK tersebut, setelah melewati ujian dan lain-lain  hasilnya saya lolos dan resmi menjadi PPPK. Saya tidak bisa membendung tangis, disaat-saat terakhirnya ibu masih memikirkan masa depan saya dan masih selalu mendampingi saya dalam doa-doanya dan yang sangat saya sesalkan, disaat saya sudah menjadi ASN sesuai harapannya, tetapi beliau tidak bersama saya lagi. 

Sekarang hanya doa  yang bisa saya kirimkan untuk beliau, saya bangga mempunyai ibu seperti beliau. Beliau wanita yang sangat luar biasa untuk saya, semoga kebaikan dan amal Sholeh yg dilakukan ayah dan ibu saya bisa mengantarkan beliau berdua menuju surga Allah. Aamiin  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun