Sebelum saya lanjut, izinkan saya bertanya. Pekerjaan manakah yang lebih berat, membaca atau menulis? Mohon untuk fokus. Saya tidak sedang menanyakan esensi timbangannya.
Pertanyaan saya adalah, apa yang membuat kita merasa berat untuk membaca tulisan orang lain, daripada menuangkan isi hati kita?Â
Mengapa pekerjaan menulis dan memposting tulisan sendiri, jauh lebih enteng dibanding menyisikan waktu khusus untuk membaca tulisan orang lain dengan penuh kesiapan?
Membaca ibarat Mendengar
Mari mengandaikan. Sebuah tulisan ibarat suara hati dan keluh-kesah seseorang, yang terkadang ada harapan agar seseorang bersedia mendengar dan mengerti keluh-kesahnya. Tapi apa daya, pekerjaan membaca adalah sebuah pilihan dan kesadaran.
Pekerjaan membaca hampir sama dengan pekerjaan mendengar. Betapa sedikit orang yang mau dan bisa mendengar. Semuanya ingin berbicara dan didengar. Adapun pekerjaan menulis mirip dengan pekerjaan bercerita. Intinya adalah pelepasan.
Tidak setiap orang mau, mampu, dan berbakat menjadi seorang pembaca yang baik. Mungkin saja membaca, tapi mengerti dengan apa yang dibacanya. Mungkin saja mengerti, tapi tidak sadar dengan bacaannya.
Ironisnya lagi, jika bacaannya tidak mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi usaha ini jauh lebih baik dan patut dihargai. Sebab ada ego (untuk tidak membaca) yang berhasil ditaklukkannya. Mengapa?
Sebab pemisah antara rasa peduli dan tidak peduli, adalah keegoisan diri dan ketidakmatangan jiwa. Tidak ada yang memisahkan dua pilihan membaca dan tidak membaca, kecuali ego sentris dan keangkuhan diri.
Saya tambahkan satu lagi, hampir setiap kita lebih senang didengar daripada mendengar. Lebih senang membuang sampai jiwa, daripada  menampung sampah orang lain. Bukankah demikian?
Mental Kerupuk