Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan zonasi sekolah telah menjadi salah satu langkah strategis pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ketimpangan pendidikan. Melalui kebijakan ini, diharapkan setiap anak mendapatkan akses pendidikan yang setara tanpa terkendala jarak dan status sosial. Zonasi juga dimaksudkan untuk menghilangkan stigma "sekolah favorit" yang selama ini menciptakan jurang perbedaan antara sekolah-sekolah tertentu. Namun, di balik niat baik ini, pelaksanaan kebijakan zonasi justru menimbulkan berbagai persoalan baru yang kompleks dan mengundang kritik dari masyarakat.
Pada dasarnya, zonasi sekolah dirancang untuk memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan belajar di sekolah terdekat. Dengan pendekatan ini, anak-anak tidak perlu melakukan perjalanan jauh untuk mencapai sekolah yang mereka inginkan, sehingga mengurangi beban logistik bagi keluarga. Di sisi lain, sistem ini juga dirancang untuk menciptakan pemerataan kualitas pendidikan, dengan asumsi bahwa setiap sekolah akan memiliki jumlah siswa yang beragam secara sosial dan akademik. Zonasi juga diharapkan dapat mengurangi praktik diskriminasi terhadap siswa yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Namun, masalah mulai muncul ketika kebijakan ini diterapkan di lapangan. Ketimpangan kualitas sekolah adalah salah satu tantangan utama. Di Indonesia, tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai, tenaga pengajar yang berkualitas, atau bahkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Masih ada sekolah yang kekurangan ruang kelas, perpustakaan yang kosong, atau laboratorium yang tidak berfungsi. Siswa yang tinggal di sekitar sekolah-sekolah ini sering kali merasa dirugikan karena mereka tidak memiliki pilihan untuk mengakses pendidikan yang lebih baik. Akibatnya, tujuan pemerataan pendidikan justru sulit tercapai.
Ketimpangan ini diperparah dengan praktik manipulasi alamat yang dilakukan oleh sebagian orang tua. Demi memasukkan anak mereka ke sekolah yang dianggap favorit, banyak orang tua yang mengubah alamat domisili secara administratif. Fenomena ini mencerminkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam menyamaratakan kualitas pendidikan. Selain itu, manipulasi alamat menciptakan ketidakadilan baru bagi siswa lain yang benar-benar tinggal di sekitar sekolah tersebut tetapi tidak mendapatkan tempat.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah ketidakseimbangan kapasitas sekolah di beberapa wilayah. Di daerah perkotaan yang padat penduduk, jumlah siswa sering kali melebihi daya tampung sekolah yang tersedia. Kondisi ini memaksa sebagian siswa untuk mencari sekolah di luar zona mereka, sehingga prinsip dasar zonasi menjadi sulit diterapkan. Sebaliknya, di wilayah rural atau terpencil, siswa sering kali dihadapkan pada pilihan yang sangat terbatas karena jumlah sekolah yang tidak mencukupi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan zonasi tidak dirancang dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan demografis yang beragam di Indonesia.
Dampak kebijakan zonasi tidak hanya dirasakan secara teknis, tetapi juga secara psikologis. Siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi kerap merasa tidak dihargai karena nilai mereka tidak lagi menjadi faktor utama dalam proses penerimaan. Hal ini dapat mengurangi motivasi belajar dan menciptakan rasa frustasi di kalangan siswa. Di sisi lain, siswa dengan nilai yang lebih rendah sering kali merasa kesulitan beradaptasi di sekolah dengan standar yang lebih tinggi. Situasi ini dapat menciptakan ketidakharmonisan di lingkungan sekolah dan menghambat proses belajar mengajar.
Untuk mengatasi berbagai persoalan ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem zonasi sekolah. Salah satu langkah penting yang harus diambil adalah pemerataan kualitas pendidikan di seluruh sekolah. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua sekolah, baik di kota maupun di desa, memiliki fasilitas yang memadai, guru yang kompeten, serta program pembelajaran yang relevan. Dengan demikian, stigma "sekolah favorit" dan "sekolah pinggiran" dapat dihapuskan.
Selain itu, kebijakan zonasi perlu dikombinasikan dengan sistem berbasis prestasi. Pendekatan ini memungkinkan siswa berprestasi tetap memiliki kesempatan untuk memilih sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan potensinya, tanpa mengorbankan prinsip pemerataan. Dengan cara ini, semangat kompetisi positif di kalangan siswa dapat dipertahankan, sambil tetap menjamin akses pendidikan bagi semua anak.
Sosialisasi kebijakan zonasi juga harus ditingkatkan. Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami tujuan dan mekanisme kebijakan ini, sehingga muncul resistensi di berbagai daerah. Pemerintah perlu melibatkan orang tua, guru, dan komunitas pendidikan dalam proses sosialisasi, sehingga mereka dapat mendukung implementasi kebijakan ini dengan lebih baik. Transparansi dalam proses penerimaan siswa baru juga harus dijaga untuk mengurangi potensi manipulasi dan konflik.
Pada akhirnya, kebijakan zonasi sekolah adalah langkah yang baik jika diterapkan dengan pendekatan yang tepat. Namun, kebijakan ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa pembenahan sistemik di sektor pendidikan. Zonasi harus menjadi bagian dari reformasi pendidikan yang lebih luas, yang mencakup peningkatan kualitas sekolah, redistribusi guru yang merata, dan pengelolaan sumber daya pendidikan yang lebih baik. Jika pemerintah serius dalam menciptakan pendidikan yang merata dan adil, kebijakan zonasi perlu dilaksanakan secara lebih terencana dan berkelanjutan.
Dengan upaya yang konsisten, zonasi dapat menjadi instrumen penting untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional. Namun, tanpa evaluasi dan perbaikan, zonasi hanya akan menjadi kebijakan yang membebani siswa, orang tua, dan sistem pendidikan itu sendiri. Masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar menjadi hak yang dapat diakses oleh semua, tanpa terkecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H