Mohon tunggu...
Chyntia Novy Girsang
Chyntia Novy Girsang Mohon Tunggu... -

"The world is a book, and those who do not travel read only a page" -St. Augustine.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak-anak Malam

6 Desember 2012   09:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_220064" align="aligncenter" width="563" caption="Ilustrasi Anak Jalanan (sumber: www.flickr.com by me_taz6's photostream)"][/caption]

Apa yang biasa anak-anak lakukan ketika hari mulai malam? Kalau saya dulu, pastinya sudah di dalam rumah, sedang belajar, sedang mengerjakan PR, sedang bersiap-siap makan malam, atau malah sedang menonton acara televisi. Tanpa pernah berpikir bagaimana saya bisa makan dengan cuma-cuma, bagaimana ayah bisa membelikan buku tulis dan crayon warna-warni, atau TV yang setiap hari saya tonton. Semua itu nihil dalam pikiran saya, ketika masih kecil.

Saya menyebut mereka “anak-anak malam”. Setiap senja menjelang malam, tak jarang mereka saya temukan. Meski hanya satu, dua anak yang bisa saya hapal karena muncul di jam yang sama hampir setiap hari. Mereka adalah anak-anak jalanan –anak-anak yang seharusnya sudah berada di rumah, sedang belajar, sedang mengerjakan PR, sedang bersiap-siap makan malam, atau menonton TV –seperti saya dulu, kalau sudah menjelang pukul 7 malam. Namun nyatanya mereka sedang bergumul dan berjuang di jalanan, lingkungan yang keras, premanisme yang tak bisa terhindarkan, makian-makian kotor, yang seharusnya mereka tidak perlu kenal di masa kecil mereka. Sebagian besar dari mereka mengamen, dari kopaja satu ke kopaja lainnya, dari metromini satu ke metromini lainnya. Mulai dari lagu yang jelas, sampai lagu yang tidak jelas. Mulai dari lagu yang bisa dimengerti, sampai lagu yang tidak bisa mengerti, karena beberapa dari mereka seringkali hanya asal keluar suara dan yang penting ecrek-ecrek menggunakan botol bekas air mineral yang diisi pasir.

Meski begitu, mereka percaya diri. Berbaju lusuh dan bermodalkan bekas bungkus permen, mereka beredar di dalam kopaja atau metromini. Selain mengamen, ada juga yang berusaha mengais rezeki dengan berdoa di dalam kopaja atau metromini. Ada yang berjualan tissue, ada yang berjualan masker, ada yang berjualan makanan, dan lain sebagainya. Tak jarang, ada juga anak-anak jalanan yang usianya mungkin masih belasan tahun, menjadi supir kopaja atau metromini.

Ada seorang anak perempuan yang hampir setiap hari saya temui dan lihat dia menyanyi di dalam metromini yang saya tumpangi setiap pulang kerja. Tubuhnya kecil, kurus, berambut ikal. Di jam tertentu di perempatan terminal Senen, anak itu pasti saya temui, dengan lagu yang sama pula setiap harinya. Andai Ku Tahu-nya Ungu. Beberapa kali saya menebak, dia akan naik begitu metromini yang saya tumpangi melewati perempatan terminal Senen, dan Yap! Tebakan saya jitu. Anak yang sama, di jam yang sama, dengan lagu yang sama. Seringkali miris, bagaimana anak perempuan sekecil ini, berkeliaran malam hari, di lingkungan terminal yang sangat tidak aman.

Di hari dimana saya menyaksikan seorang supir kopaja yang notabene masih remaja beradu mulut dengan “kenek”-nya gara-gara uang setoran dan pembagian hasil narik kopaja, saya juga menemukan seorang gadis remaja, mungkin usianya belum sampai 20-an, sedang menggendong bayi dan menyusuinya. Sepanjang perjalanan di dalam kopaja, dia mengeluarkan sumpah serapah dan berbagai macam kata-kata kasar.

Anak-anak malam. Kalau mereka terlahir dari seorang Bakrie, mungkin mereka sedang tidak mengamen di lampu-lampu merah jalan atau di dalam angkutan umum, tidak juga sedang menarik kopaja atau metromini dari Terminal Senen. Mereka mungkin sedang melakukan hal yang sama dengan saya ketika saya juga masih kecil dulu –sudah berada di rumah, sedang belajar dan mengerjakan PR, sedang bersiap-siap makan malam, atau sekedar menonton TV.

Anak-anak malam itu. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Terima tidak terima, harus menjalani hidup yang tangguh sebelum waktunya. Keras yang tidak seharusnya. Anak-anak lucu yang mendewasa sebelum waktu dimana mereka harus berjuang untuk hidup mereka sendiri. Seringkali saya tersentak ketika anak-anak kecil itu menyanyikan lagu tentang politik dan korupsi. Mungkinkah mereka juga berpikir yang sama dengan saya? Dimanakah Undang-undang yang berkata bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara? Mungkinkah mereka juga ikut bersembunyi dibalik jas dan safari para politisi ataupun mereka yang berkorupsi?

Di malam dalam perjalanan saya menuju rumah, tak ada hal lain yang bisa saya renungkan selain logam-logam saya yang mudah-mudahan bisa mencukupkan makanan mereka untuk malam itu, dan berharap mereka-mereka yang bertitle pemerintah itu sesekali lewat disana, melihat lantas berpikir, bagaimana mungkin dari begitu banyaknya Undang-undang yang sering mereka rapatkan dan perdebatkan itu, tidak memberikan apapun untuk membantu orang lain?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun