Diluar langit tampak gelap, genderum langit terdengar kencang seperti suara genderum perang. Maudy masih di ruangannya mengetik artikel pembunuhan berantai yang akan dimuat besok. Ia satu-satunya reporter wanita yang membuat artikel tentang kasus kriminalitas. Memang sudah menjadi hobby baginya menjadi seorang penulis. Semua staff di kantor hari ini mengadakan penyambutan untuk kepala direksi baru yang datang dari Jakarta. Maudy paling tidak suka bergabung dengan bagian administrasi yang kebanyakan beranggotakan wanita-wanita centil yang kerjanya bergosip saat makan siang. Setelah artikelnya selesai, Maudy menitipkannya kepada Fitri yang bertugas memeriksa ulang pekerjaannya sebelum diserahkan ke tangan editor.
Sekilas Maudy tampak berkesan ‘wanita’ sebelum ia naik motor kebanggaan miliknya yang bias disebut motor balap yang berbody gèdè. Kemeja putih dengan eksen garis-garis silver di sisi kanan baju, celana berbahan kain karet yang ketat dan memamerkan lekuk pinggul yang indah, serta sepatu boot andalannya. Sekilas memang ia terlihat seperti model sepeda motor balap, tapi jangan salah kalau motor itu miliknya. Rambutnya sengaja dikucir kuda agar tidak susah kalau harus memakai helm. Jika ia memakai helm, gak ada seorangpun yang bakal tau kalau dia itu wanita. Yah…tentu saja bagian menonjol seperti dadanya juga tertutup jaket kulit yang tebal.
Hujan tiba-tiba turun deras membasahi kota. Maudy memutuskan untuk berteduh di halte bis sambil menunggu hujan badai seperti ini reda. Ia mengeluarkan kantong pelastik besar yang selalu berada di dalam tas andalannya untuk berjaga-jaga kalau hujan nanti tas itu selamat. Bagaimana jika tas itu basah kemudian kamera, lensa jarak jauh, perekam, dan ponselnya basah? Ia juga menaruh sepatu boot ke dalam kantongan pelastik satu lagi. Ia membuka jok motor untuk mengambil sandal yang selalu ia taruh disana. Tapi saaat ia berjalan mendekati motornya, sebuah Audi hitam melaju kencang dan genangan air yang berada tepat di depan Maudy menyembur ke seluruh tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung jempol kakinya. Tanpa ba-bi-bu Maudy langsung naik ke motornya dan melaju mengikuti mobil itu sampai mobil itu juga berhenti di pinggir jalan setelah hujan itu agak reda walau sedikit gerimis. Seorang pria turun dari mobil itu dan berjalanmeninggalkan mobilnya. Maudy mendahului pria itu dan memutar kembali badan motornya agar genangan air di bawahnya tersembur kearah pria itu.
BRRAAASSSSHHHHH……………..
Maudy membuka kaca helm full face nya.
“satu sama!” ucapnya
Pria itu tampak kesal. Apa maksudnya satu sama? Maudy meninggalkan pria itu. Tanpa sadar sesuatu benda penting jatuh dari kantung jaket kulitnya.
***
“Sinting loe!” teriak Mandala saat seorang dengan motor gèdè menyemburkan genangan air hujan dengan ban motor belakangnya. Ada sesuatu yang terjatuh dari orang tadi, Mandala memungutnya. Bertapa terkejutnya ia melihat tanda pengenal seorang wartawan surat kabar yang ternyata adalah seorang wanita yang tadi membuatnya basah kuyup. Lalu ia tersenyum dan berkata dalam hati.
Maudy Aurelia Cristian…akan ku balas besok di kantor…
***
Pukul dua dini hari Maudy terbangunkan dengan deringan telepon.
“halo! Lu siap-siap sekarang. Gue jemput lu pake mobil. Kita ikut pengrebekan klub malam” terdengar suara pria dari ujung sana.
“gue naik motor aja, Roy! Dimana lokasinya?”
“bias gak lu tengah malam kek gini?”
“loe kayak gak kenal gue aja!”
“okey dech! Kalau Lia marah, jangan salahin aku ya!”
“iya! Cerewet!”
Roy itu satu tim dengan Maudy dan ia suami dari sahabat dekat Maudy, Lia.
Pukul tujuh pagi Maudy sampai diruangannya. Ia langsung tertidur di atas meja karena lelah meliputi kasus tadi. Ia sudah cukup kesal karena liputan beritanya gagal hanya karna tanda pengenalnya hilang. Ponselnya bergetar Maudy tidak ingin istirahatnya di ganggu oleh siapapun sampai Fitri mengetuk pintu ruangannya.
“di! Kepala direksi ingin bertemu.”
“aku lagi sibuk. 15 menit lagi.”
Tidak biasanya kepala direksi memanggilnya. Maudy kemudian cepat-cepat merapikan pakaiannya dan keluar menuju ruangan itu.
Maudy mengetuk pintu ruang kepala direksi. Terdengar suara dari dalam menyuruhnya masuk.
Mandala duduk di mejanya dan membelakangi pintu sambil melihat foto Maudy yang ada pada tanda pengenal di tangannya.
“ada apa bapak memanggil saya?”
“kamu yang namanya Maudy Aurelian Cristian?” ucap Mandala tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Maudy.
“ya…ada yang bisa saya bantu?”
“ya! Saya mau tanya semalam kamu berada dimana?”
“saya meliputi penggebrekan klub malam.”
“bukan itu maksud saya”
“???”
“kemarin sore saya melihat anda sengaja menyemprotkan genangan air dengan motor anda. Apa maksud anda melakukan hal itu?”
Maudy berpikir sejenak. Lalu ia ingat dengan kejadianitu. Kemudian ia melangkah mendekati kursi kepala direksi karena penasaran siapa yang berada di balik kursi tersebut. Saat yang bersamaan wajah mereka bertemu, Maudy kaget melihat pria yang disana dan pria menyebalkan semalam adalah orang yang sama.
“ngapain loe kesini? Mau apa loe?”
“ini. Aku…” Mandala berdiri dan ingin memberikan kartu identitas itu, tapi Maudy malah menariknya dan membanting tubuh Mandala ke lantai.
Mandala mengerang kesakitan. Fitri yang saat bersamaan masuk ke dalam ruangan itu kaget melihat pemandangan yang tidak lazim. Kemudian ia langsung membantu Mandala bangun.
“bapak tidak apa-apa?”
“tidak. Mungkin nona ini salah paham.”
“maksudnya?”
“di! Ini bapak Mandala. Kepala direksi kita yang baru.”
Maudy menelan ludahnya. Ia mendapatkan masalah besar.
“Fitri, tolang ambilkan minuman untuk kita.”
“baik pak” ucap Fitri sambil berlalu dari ruangan itu.
“silahkan duduk. Score sekarang dua-satu ya?”
Pipi Maudy merona. Ia tidak tau harus berkata apa.
“baru kali ini aku di kalahkan wanita. Tapi hanya soal banting membanting. Kamu hebat juga ya.”
Hebat dari Hongkong!
“maaf. Boleh saya kembali ke ruangan saya? Pekerjaan saya masih banyak.”
“tunggu sebentar, memangnya kamu bisa bekerja tanpa ini?” Mandala memberikan kartu pengenal Maudy. Tetapi saat Maudy hendak mengambilnya, Mandala menariknya kembali. Ia seperti kucing yang mengumpani tikus kelaparan dengan keju. Maudy langsung berdiri dari tempat duduknya.
“sabar donk sayang…”
Sayang bapakmu!
Maudy keluar dari ruangan itu dengan wajah yang siap menerkam siapapun yang berani mendekatinya.
Enggak lucu, tau!loe kira loe tuh sapa? Baru kepala direksi saja udah suka-suka! Belum lagi presiden direktur!
Maudy kembali keruangannya hanya untuk mengambil permen dan keluar menuju lift. Maudy paling sering ke lantaipaling atas untuk menenangkan diri, hati dan pikirannya yang sedang jenuh.
“loe pikir loe sapa??? Udah gak minta maaf karna loe nyemprot gue pake genangan air! Malah sok kegantengan!!!” Maudy mengeluarkan semua kesah yang ada di dalam hatinya dengan cara menjerit. Ponsel Maudy bergetar lama, tanda kalau ia harus mengangkat telepon itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H