Hari itu sang matahari nampak bersemangat sekali dalam menunaikan tugasnya. Entah, mungkin suasana hatinya sedang baik. Tentunya hal ini membuat makhluk-makhluk yang ada di bawah merasakan panasnya. Tak terkecuali juga bagi pejuang-pejuang jalanan di Kota Pahlawan. Terlihat begitu kucel. Beraromakan parfum campur keringat.
Namun berbeda dengan seorang pemuda yang dari pagi sudah nongkrong di warung kopi. Tidak merasa kepanasan. Tetap sejuk baginya. Warkop tempatnya terlihat biasa saja. Tidak terlalu besar. Tapi tetap terasa sejuk. Dua batang pohon rindang yang dengan setia berjaga di depan berhasil menghadang panas matahari.
Tempat favorit pemuda ini ada di belakang meja kasir. Tepat di bawah spiker aktif yang sejak pagi sudah mengalunkan lagu-lagu pop indie masa kini. Duduk bersandar kulkas yang berada tepat dibelakang punggungnya, sambil sesekali bersenandung mengikuti nyanyian spiker aktif itu.Â
Diangguk-anggukkan kepalanya sesuai irama musik. Berulang kali kagiatan itu dilakukannya. Pemuda ini bukan hanya nongkrong, tapi dialah yang pagi ini bertugas menjaga warkop.
Saat pemuda itu asyik mendendangkan lagu sambil meminum sedikit demi sedikit kopi hitam yang sudah dingin dari pagi tadi, berhentilah pengendara bebek tua berwarna hitam dan sudah pudar. Ada juga seorang anak laki-laki duduk diboncengannya. Diparkirkan bebek tua itu dan masuk ke warkop.
"Jahe hangat satu, jangan terlalu panas ya, Mas, di luar sudah panas. Tambah susu coklat satu juga ya." Pesannya pada penjaga warkop.
"Dikasih es batu yang banyak, yang kecil-kecil. Biar bisa dimakan." Sahut anak yang perawakannya kecil dengan seragam batik sekolah yang sedikit kebesaran.
"Siap, Bos Kecil." Timpal penjaga warkop sambil tersenyum lebar.
Penjaga warkop pun langsung membuatkan pesanan mereka. Tak perlu menunggu terlalu lama, pesanan sudah diantar.
"Terimakasih" ucap anak kecil itu. Manis.
Penjaga warkop kembali menuju tempat favoritnya. Meja kasir.
Diamatinya kedua laki-laki itu. Ayah dan anak. Mereka terlibat obrolan ringan dengan tawa.
Sesekali si ayah memperlihatkan video lucu dari gawainya, membuat suara tawa anak itu terdengar sampai ke penjual batagor di seberang warkop. Hal ini dilakukan dua kali dan berakhiran sama.
Sampai video ketiga ditunjukkan. Berbeda dari kejadian sebelumnya, anak itu tampak memperhatikan dengan sangat serius. Begitu fokus. Bercampur penasaran. Hingga akhirnya dia berteriak kaget serta melepaskan gawai ayahnya dan jatuh ke meja. Kali ini ganti ayahnya yang tertawa lantang.
"Ya, Tuhan... Mengapa kau menciptakan makhluk yang paling usil bernama ayah." Batin penjaga warkop sambil ikut tertawa.
Suasana kembali santai. Melihat mereka mengingatkan penjaga warkop pada ayahnya. Musik pun berganti memutarkan alunan musik akustik hingga membuat penjaga warkop seolah terhipnotis masuk ke dalam alam lamunannya lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Penjaga warkop pun teringat saat masa kecilnya dulu. Teringat sosok yang selalu menjaganya saat kecil. Kenangan-kenangan itu muncul begitu saja dan sangat detil. Bahkan dia masih ingat bagaimana perasaannya saat itu.
Saat dia belum sekolah. Setiap malam tangan ayahnya yang terasa begitu besar selalu mendekapnya dan menimangnya ketika dia tidak bisa tidur. Ayahnya selalu menggendongnya keluar rumah dan berjalan-jalan membawa tubuh kecilnya hingga dia terlelap. Sungguh terasa seperti tempat tidur yang paling nyaman yang pernah ada. Sekarang, tangannya pasti tidak sekuat dulu.
Lamunannya pun berlanjut. Dia juga ingat betul saat diajak ayahnya berkeliling mengantarkan surat dari rumah ke rumah. Setelah itu diajak ke warung langganan dan memesankan es serut untuknya. Hanya es batu yang diserut dan dicampuri sirup. Namun rasanya begitu nikmat menyegarkan.
Tiba-tiba ingatannya melesat maju ke saat masa SMA-nya. Sore sepulang sekolah dia memergoki ayahnya sedang berlutut dan berdoa. Terdengar isak tangisnya dengan suara yang gemetar. Segala emosinya bercampur aduk.Â
Sedih, kecewa, menyesal, takut, khawatir, merasa bersalah, benar-benar menyatu kala sang ayah menyadari kondisinya yang sudah tidak lagi bekerja. Ditambah dengan keluhannya tentang biaya sekolah anaknya yang sudah nunggak dan beban hutang yang entah dari mana saja.
Saat itu penjaga warkop yang masih muda tidak bisa apa-apa. Hanya berdiri berdiam kaku. Ikut merasakan emosi yang mengalir dari air mata ayahnya. Saat itu juga dia mengurungkan keinginannya untuk langsung kuliah setelah lulus SMA.
"Sudah, Mas. Berapa total semuanya?" Tanya pelanggan yang membawa anak tadi membuyarkan lamunannya.
Setelah membayar dia mengajak anaknya untuk pulang. Seketika anak kecil itu langsung berdiri menaiki kursi sambil berkata "Gendong dong, Yaaah!".
Dengan senyum kecut tapi sangat tulus, ayahnya langsung menggendong tubuh kecil itu dan menaiki bebek tuanya.
Penjaga warkop tetap mengamati mereka dengan tawa kecil. Baginya, ayahnya bukanlah sosok yang gagal. Dia adalah sosok yang sukses. Berhasil memberikan ketulusan cintanya dengan segala pengorbanan dan mengajarkan hal yang paling penting baginya.
"Kebahagiaan bukan hanya melulu soal nominal saja, tapi juga tentang seberapa dalam kita bisa menikmati hal-hal kecil apalagi dilakukan bersama orang-orang tercinta. Selagi masih ada waktu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H