Mohon tunggu...
Christianus Hadi Winjaya
Christianus Hadi Winjaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengaduk kopi

Suka senyum-senyum sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Horison Waktu di Pantai Serang

15 Juni 2019   01:32 Diperbarui: 24 Juni 2019   11:49 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Waktu datang dari masa depan yang belum terjadi, singgah di masa kini yang tak punya durasi, lalu pergi ke masa lampau yang sudah tak ada lagi."

Teringat kembali kalimat itu saat lagi-lagi Hadi menginjakkan kakinya pada pasir pantai yang bergerak dan hinggap di kakinya, saat di mana aroma air asin terbawa angin dan terhirup masuk rongga hidung menuju aliran saraf sehingga membuat begitu ringan. Sungguh, suasana yang membenamkannya akan kisah kerinduan bersama teman-temannya yang tergabung dalam kelompok ini pula.

Namun berbeda kali ini, setelah pulang dari perantauannya dan kembali dalam kelompok ini, sudah hampir tidak ada lagi yang dikenalnya. Hanya ada pemuda-pemudi yang rentang usianya sekitar tujuh sampai sepuluh tahun lebih muda darinya. Hal ini pula yang membuatnya terlihat sering menyendiri. Lelaki bertubuh kecil ini pun menyibukkan dirinya hanya dengan mengambil potret-potret suasana sekitar.

Sampai suatu ketika pemotret kecil itu terdiam dari segala aktivitasnya. Sorot matanya menajam ke arah layar kamera yang menunjukkan sebuah momen unik baginya. Berkali-kali dia memperbesar hasil tangkapannya itu. Potret dua gadis remaja, yang satu berkaus merah sedang menggendong gadis berkaus ungu, terekam menghiasi siang terik di pantai dengan tawa lepas. Benar-benar nampak bahagia, berbeda dengan tawa yang sering ditemui di tempat rantaunya, sering tampak dipaksakan.

Sejenak dilemparkan pandangannya terbawa arus ombak, dan saat itu juga seolah angin berbisik padanya: "Lalu, mengapa sekarang kau membatasi diri? Tidakkah kau ingin melepas batasmu dan menyatu bersama kami?"

Kesadarannya pun kembali membawa hal baru. Tidak ada salahnya seperti mereka. Tidak ada gunanya menjadi sok dewasa sekarang, terkadang menjadi seperti anak kecil juga diperlukan, begitu polos dan apa adanya.

Diletakkannya kamera kesayangan itu dan berlarilah lelaki kecil itu membaur bersama ombak yang menari dengan membawa pelajaran baru.
Bersikap sebagaimana orang dewasa pada mestinya, dan bahagia seperti anak kecil yang belum paham kerasnya dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun