Desain institusional ASEAN yang mengedepankan informalitas nyatanya merupakan belati mata ganda. Di satu sisi, ia menjanjikan hubungan kerja sama antarnegara anggota yang fleksibel; substrat yang sangat baik untuk integrasi sistem pembayaran. Di sisi lain, kelonggaran itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak, terutama pelaku kriminalitas, untuk memanfaatkan ketiadaan mekanisme kepatuhan antarpihak dalam kerja sama guna melakukan tindak kriminal, seperti penipuan maupun kejahatan siber yang dengan mudah menyamarkan praktiknya lewat penempelan QR-Code.Â
Tentu saja ingatan kita belum lupa saat modus penipuan QRIS lewat kotak amal masjid terungkap bulan April lalu. Pembelajaran mahal yang dapat diambil dari kejadian itu ialah peringatan bahwa dengan cara kerja yang sederhana, pembayaran dengan QR Code rentan pemalsuan dan penyalahgunaan. Kasus QRIS kotak amal itu hanya satu kejadian dan masih dalam jangkauan tanah air sendiri.Â
Jika hal ini tidak dipertimbangkan saat integrasi pembayaran ASEAN direncanakan, janganlah heran jika yang harus berintegrasi selanjutnya adalah kepolisian dan otoritas kejahatan finansial se-Asia Tenggara, karena integrasi telah disalahgunakan menjadi pintu untuk tindak kejahatan transnasional!Â
Mitigasi terhadap potensi terburuk seperti itu harus tersedia sebagai instrumen built-in dalam rencana integrasi sistem pembayaran ASEAN. Bila perlu, integrasi sistem pembayaran juga harus dilakukan simultan dengan integrasi otoritas jasa keuangan yang memiliki kewenangan tertinggi menindak pelaku kriminalitas siber yang mempergunakan QRIS. Tak hanya itu, instalasi fitur keamanan transaksi yang lebih baik juga harus dilakukan dengan koordinasi antarbank, sehingga setiap gejala penyalahgunaan QR-Code pembayaran dapat terdeteksi sesegera mungkin sebelum pengguna harus menanggung kerugian.
Bukan Langkah Terakhir
Pada akhirnya, integrasi sistem pembayaran ASEAN jangan sampai menjadi langkah terakhir dalam menyempurnakan pelayanan ASEAN kepada masyarakat regional Asia Tenggara, tetapi harus membuka jalan untuk integrasi perekonomian lebih lanjut seperti merintis pasar regional yang lebih luas. Waktu 5-10 tahun sejak peluncuran agaknya merupakan waktu yang cukup untuk melihat sejauh mana integrasi sistem pembayaran menyediakan signifikansi bagi pembentukan kohesi luas dalam tata kelola pembayaran di Asia Tenggara. Inovasi yang canggih, kiranya harus disertai prospek realistis terkait apa yang diharapkan dari integrasi ini.Â
Bank Indonesia selaku bank sentral negara pemimpin de facto ASEAN kiranya telah mempunyai kapasitas untuk memimpin tanggung jawab integrasi ini. Adalah sebuah langkah yang brilian sekaligus sarat risiko untuk mempersatukan sistem pembayaran di 10 negara dengan karakteristik perekonomian yang sangat majemuk, tetapi manfaat yang dijanjikannya amatlah sebanding dengan usaha itu. Membuka kesempatan berpartisipasi dan memajukan ekonomi digital secara konkret adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya, adalah memungkinkan integrasi yang mengundang keikutsertaan negara-negara Asia Timur, Pasifik Barat Daya, dan Oseania, menuju era ekonomi digital Asia Pasifik.Â
Hal yang terpenting, jangan sampai integrasi ini hanya menjadi mimpi belaka. Tanggung jawab mewujudkannya ada pada Bank Indonesia dan bank sentral kesembilan negara anggota lain, tetapi tanggung jawab mendukungnya ada di tangan saya, Anda, dan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H