Bayangkanlah seandainya pekan depan Anda mendapat kesempatan cuti dari pekerjaan dan merencanakan liburan. Hari pertama, dengan menumpang sebuah maskapai penerbangan, Anda bertolak ke Kuala Lumpur. Semalam di negeri jiran, pagi-pagi setelah sarapan nasi lemak, Anda meneruskan perjalanan ke Phuket atau Bangkok: menikmati festival, mengudap semangkuk Khao Soi di Chiang Mai, dan berbelanja suvenir khas negeri gajah putih. Anda meneruskan trip ke Ho Chi Minh City: berbelanja di Pasar Ben Thanh, menikmati pemandangan Saigon Skydeck, dan mengunjungi Jade Emperor Pagoda. Tak lupa, di perjalanan menuju bandara, Anda menghangatkan perut mi dengan kaldu sapi hangat, gurih, dan segar di Pho Hoa Pasteur sebelum pulang.
Pengalaman dan kegembiraan yang Anda nikmati di ketiga negeri itu tentu saja berbeda, tetapi ada satu kesamaan. Ya, Anda tidak perlu menukar rupiah dengan ringgit, baht, atau dong. Malah, Anda tidak perlu menyediakan dompet untuk menyimpan uang kertas sama sekali. Cukup aplikasi e-banking berfitur QRIS terunduh di ponsel pintar, Anda menguasai semua keperluan pembayaran untuk berwisata keliling Asia Tenggara dalam genggaman. Mudah dan cepat, pembayaran tidak membebani pikiran Anda saat berwisata dengan hitung-hitungan penukaran uang, mencari money changer, memperkirakan kurs dan sebagainya.Â
Semua itu menjadi mungkin untuk dinikmati jutaan penduduk Asia Tenggara dalam hitungan tahun, dengan cita-cita integrasi sistem pembayaran ASEAN yang tengah dipersiapkan oleh bank sentral kesepuluh anggota perhimpunan, tentu saja termasuk Bank Indonesia. Kemudahan, kata kunci pertama, adalah keutamaan yang dicari dalam kerja sama ini. Boleh jadi, sejak didirikan pertama kali lima puluh enam tahun lalu, ini adalah kali pertama ASEAN menghasilkan kebijakan ekonomi regional yang dampaknya beresonansi pada denyut nadi kehidupan rakyat banyak, selain menjadi gong yang menandai kesiapan ASEAN berpartisipasi dalam ekonomi digital yang saat ini tengah menyongsong kejayaannya. Â
Ada banyak manfaat membangun sistem pembayaran terintegrasi. Contoh kasus pariwisata di atas hanya salah satunya. Tidak hanya orang Indonesia yang berwisata ke negeri tetangga, tetapi juga saudara sekawasan juga dapat menikmatinya. Bayangkanlah betapa dahsyatnya ketika Anda makan di gerai bakso, soto, atau mi ayam yang telah mempergunakan QRIS untuk pembayaran, maka yang mengantre di belakang Anda untuk membayar bisa jadi adalah orang Filipina, Vietnam, atau Kamboja yang juga mengecap kelezatan semangkuk hidangan, seperti yang baru Anda santap!
Meski demikian, kemudahan jangan sampai membuat lena. Di balik manfaat dan kemudahan yang dijanjikan, integrasi sistem pembayaran mempunyai sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi, jika tidak mau menghindari kerugian dalam pelaksanaannya. Bukan hanya tugas bank-bank sentral selaku pelaksana teknis, integrasi sistem pembayaran nyatanya membutuhkan ASEAN untuk melangkah lebih jauh dalam hal komitmen sebagai institusi internasional. Tulisan ini akan memaparkan sejumlah tantangan itu, sekaligus mitigasi yang sekiranya dapat dilakukan oleh sepuluh anggota ASEAN dalam menyongsong integrasi sistem pembayaran.Â
Desain Institusional ASEAN, Sanggupkah?
Dalam kerangka teoretis ilmu hubungan internasional, institusi seperti ASEAN terkategori dalam derajat loosely institutionalized. Maksud derajat ini adalah sebagai sebuah institusi yang terdiri atas seperangkat prinsip, nilai, norma, dan peraturan, ASEAN relatif tidak mengikat negara-negara anggotanya lewat mekanisme kepatuhan, apalagi sampai meminta anggotanya menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada institusi seperti halnya Uni Eropa.Â
Hal yang dapat membuktikan ini adalah kenyataan bahwa satu-satunya perjanjian (bentuk dokumen paling mengikat dalam hukum internasional) yang dimiliki ASEAN selama 40 tahun (1976-2007) hanyalah Treaties of Amity and Cooperation (TAC) yang hanya memuat 20 pasal dalam 5 halaman, dan ditandatangani pada 24 Februari 1976. Baru pada 2007, sepuluh anggota ASEAN memiliki komitmen menandatangani Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang "sedikit" meningkatkan derajat itu menjadi lebih ketat, meski dalam praktiknya, piagam itu hanya tersimpan di laci. Hal ini terjadi karena TAC sendirilah, induk perjanjian negara anggota ASEAN, yang merumuskan konfigurasi kerja sama unik yang tidak ada duanya di dunia.
Pasal 2 TAC memuat sejumlah prinsip ASEAN sebagai institusi yang menghormati kedaulatan negara anggotanya secara penuh, mencegah intervensi urusan dalam negeri tetangga, sekaligus menjaga kerjasama efektif di antara para anggotanya. Betapa licin kata efektif di sini menyebabkan kerja sama antarnegara cenderung bersifat informal, bahkan dalam menghadapi masalah serius seperti keamanan. Kalaupun ada masalah, pembicaraan pemimpin dari hati ke hati dikedepankan daripada membawa kasus ke mahkamah. Inilah ASEAN Way, tata kelola persahabatan cara ASEAN; lebih tepatnya cara Asia Tenggara yang khas dengan ramah-tamah dan sopan-santun sebagai saudara serumpun.Â
Sampai di sini, ide kerja sama sebesar integrasi sistem pembayaran tampaknya adalah gagasan mustahil, sebab walau hanya secarik kertas, uang adalah lambang kedaulatan yang tidak bisa diganggu-gugat pemakaiannya di seluruh teritori negara. Akan tetapi, sesempit itukah cara pikir kita terhadap rencana integrasi sistem pembayaran ASEAN?Â
Bagi saya, uang tetaplah uang. Ia adalah alat tukar yang—di balik makna kedaulatan yang tersemat di dalamnya—tetap harus berfungsi sebagaimana mestinya. Karena itu, meskipun desain institusional ASEAN menggariskan adanya kedaulatan negara yang harus dihormati, integrasi sistem pembayaran jangan sampai dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan, tetapi mempertinggi makna kedaulatan itu menjadi regional sovereignty sebagai implementasi lebih lanjut dari national sovereignty. Spirit regionalistis menyambut masa depan inilah yang coba diperlihatkan sejak tiga Komunitas ASEAN resmi berdiri pada 2015 lalu.
Dengan integrasi pembayaran, rupiah tetap rupiah dan peso tetap peso. Ringgit tidak menjadi baht dan dong tidak menjadi kip. Sistem pembayaran yang terintegrasi justru memastikan agar kedaulatan itu tidak hanya berlaku di pelosok tanah air, tetapi juga di seluruh wilayah regional Asia Tenggara. Integrasi ini tentu tidak seekstrem penyatuan mata uang seperti yang dilakukan Uni Eropa, tetapi langkah ini bisa dan sangat potensial membuka jalan ke arah itu di masa yang akan datang.Â
Tanggung Jawab Siapa?
Desain institusional ASEAN yang mengedepankan informalitas nyatanya merupakan belati mata ganda. Di satu sisi, ia menjanjikan hubungan kerja sama antarnegara anggota yang fleksibel; substrat yang sangat baik untuk integrasi sistem pembayaran. Di sisi lain, kelonggaran itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak, terutama pelaku kriminalitas, untuk memanfaatkan ketiadaan mekanisme kepatuhan antarpihak dalam kerja sama guna melakukan tindak kriminal, seperti penipuan maupun kejahatan siber yang dengan mudah menyamarkan praktiknya lewat penempelan QR-Code.Â
Tentu saja ingatan kita belum lupa saat modus penipuan QRIS lewat kotak amal masjid terungkap bulan April lalu. Pembelajaran mahal yang dapat diambil dari kejadian itu ialah peringatan bahwa dengan cara kerja yang sederhana, pembayaran dengan QR Code rentan pemalsuan dan penyalahgunaan. Kasus QRIS kotak amal itu hanya satu kejadian dan masih dalam jangkauan tanah air sendiri.Â
Jika hal ini tidak dipertimbangkan saat integrasi pembayaran ASEAN direncanakan, janganlah heran jika yang harus berintegrasi selanjutnya adalah kepolisian dan otoritas kejahatan finansial se-Asia Tenggara, karena integrasi telah disalahgunakan menjadi pintu untuk tindak kejahatan transnasional!Â
Mitigasi terhadap potensi terburuk seperti itu harus tersedia sebagai instrumen built-in dalam rencana integrasi sistem pembayaran ASEAN. Bila perlu, integrasi sistem pembayaran juga harus dilakukan simultan dengan integrasi otoritas jasa keuangan yang memiliki kewenangan tertinggi menindak pelaku kriminalitas siber yang mempergunakan QRIS. Tak hanya itu, instalasi fitur keamanan transaksi yang lebih baik juga harus dilakukan dengan koordinasi antarbank, sehingga setiap gejala penyalahgunaan QR-Code pembayaran dapat terdeteksi sesegera mungkin sebelum pengguna harus menanggung kerugian.
Bukan Langkah Terakhir
Pada akhirnya, integrasi sistem pembayaran ASEAN jangan sampai menjadi langkah terakhir dalam menyempurnakan pelayanan ASEAN kepada masyarakat regional Asia Tenggara, tetapi harus membuka jalan untuk integrasi perekonomian lebih lanjut seperti merintis pasar regional yang lebih luas. Waktu 5-10 tahun sejak peluncuran agaknya merupakan waktu yang cukup untuk melihat sejauh mana integrasi sistem pembayaran menyediakan signifikansi bagi pembentukan kohesi luas dalam tata kelola pembayaran di Asia Tenggara. Inovasi yang canggih, kiranya harus disertai prospek realistis terkait apa yang diharapkan dari integrasi ini.Â
Bank Indonesia selaku bank sentral negara pemimpin de facto ASEAN kiranya telah mempunyai kapasitas untuk memimpin tanggung jawab integrasi ini. Adalah sebuah langkah yang brilian sekaligus sarat risiko untuk mempersatukan sistem pembayaran di 10 negara dengan karakteristik perekonomian yang sangat majemuk, tetapi manfaat yang dijanjikannya amatlah sebanding dengan usaha itu. Membuka kesempatan berpartisipasi dan memajukan ekonomi digital secara konkret adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya, adalah memungkinkan integrasi yang mengundang keikutsertaan negara-negara Asia Timur, Pasifik Barat Daya, dan Oseania, menuju era ekonomi digital Asia Pasifik.Â
Hal yang terpenting, jangan sampai integrasi ini hanya menjadi mimpi belaka. Tanggung jawab mewujudkannya ada pada Bank Indonesia dan bank sentral kesembilan negara anggota lain, tetapi tanggung jawab mendukungnya ada di tangan saya, Anda, dan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H