Kali ini, dengan membawa beberapa buah apel untukmu. Semoga tidak gagal. Apel merah yang diletakkan dalam sebuah keranjang, dihias dengan pita putih. Aku belum punya ide buah tangan apa lagi yang bisa dianggap menarik. Hanya ini. Ini dulu, ya. Bulan depan setelah gajian, barangkali bisa membeli yang lebih, sekarang sudah mau tengah bulan. Tersisa beberapa ribu saja hanya cukup untuk makan dan beli buah ini.
Berbekal semangat yang membara menuju ke rumahmu. Harapannya kau akan suka dengan pemberianku. Tak lupa, kali ini menghias diri dengan mahkota bunga kering. Semoga kau terpukau. Kemudian, menerimaku sebagai sosok yang akan mendampingi dalam suka dan duka hingga akhir hayat nanti. Ku kayuh sepeda dengan kecepatan sedang, agar mahkotanya tak lepas.
Sampai di rumahmu. Terdengar riuh bahagia. Mungkin sedang ada pesta. Terlihat dari pagar, sepi. Hanya nampak sepasang insan saling bercanda. Mereka begitu cocok, bak raja dan ratu, sangat serasi dengan mahkota emas bertengger di atas rambut masing-masing. Apa dayaku yang hanya bermahkota bunga kering ini. Sungguh, langit dan bumi tak akan pantas bila disandingkan. Meski kau bilang jodoh tak akan kemana, tetap saja, kalau diri ini bukanlah yang kau cari. Di jalan pulang nanti, apel-apel tadi akan lebih berguna bagi orang lain.
Hitungan mundur, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H