Tahun 2024 lalu, viral anak-anak SMP tidak bisa membaca. Fenomena ini bisa jadi adalah dampak terlalu lama menggunakan teknologi dan sosial media yang membuat otak kelelahan atau yang baru-baru ini popular dengan sebutan pembusukan otak 'brain rot'. Tentu dampak negatif ini tidak saja berlaku kepada anak-anak, tapi ke seluruh generasi. Hanya saja, generasi yang lebih tua bisa lebih mengendalikan diri. Karena itu, anak-anak dan remaja menjadi generasi yang paling terdampak. Sialnya, banyak orang tua yang baru sama-sama belajar teknologi yang semakin membuat anak-anak dan remaja semakin tidak terkontrol.
Kecanduan teknologi digital, dikutip dari Journal of Behavioral Addictions, menyebabkan penurunan kemampuan literasi, kesulitan berinteraksi sosial dan menyebabkan peningkatan stress dan kecemasan individu. Pernyataan tersebut didasarkan pada penelitian di berbagai negara seperti di Amerika, Inggris dan Australia. Di Amerika Serikat, 27 persen siswa sekolah menengah tidak dapat membaca dengan baik, dampak dari kecanduan teknologi digital dan media sosial. Sementara di Inggris, 60 persen remaja mengalami kesulitan interaksi sosial. Sementara penelitian di Australia menunjukan sebanyak 45 persen remaja mengalami stress dan kecemasan, sering mengalami halusinasi dan kesulitan mengontrol diri (www.ums.ac.id).
Dari penelitian tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa fenomena 'brain rot' merupakan fenomena global. Namun yang menjadi pembeda di antara kita dan mereka barangkali terletak pada upaya pencegahan dan antisipasi baik dilakukan secara kolektif melalui kebijakan publik maupun dilakukan atas dasar kesadaran individu. Negara Australia misalnya, baru saja mengesahkan undang-undang yang melarang anak usia di bawah 16 tahun untuk mengakses media sosial sebagaimana dikutip dari Kompas.com (01/12/2024).
Selain Australia, negara-negara maju juga memiliki trends yang sama. Norwegia misalnya, telah mengusulkan batas usia anak-anak yang boleh menggunakan platform sosial media dari usia 13 menjadi 15 tahun. Sementara di Uni Eropa, pemrosesan data pribadi untuk memiliki sosial media anak di bawah 16 tahun harus disertai dengan izin orang tua. Hal serupa berlaku di berbagai negara lain seperti Belanda, Jerman, Prancis, Italia dan lain sebagainya.
Kebijakan publik yang dilakukan di negara-negara maju dalam hal pembatasan media sosial, mungkin akan sulit dilakukan di Indonesia yang merupakan negara majemuk dan memiliki gap sosial yang sangat lebar. Maka jika kebijakan negara sulit diharapkan, setidaknya kita bisa menjadi pribadi yang sadar 'aware' dengan fenomena tersebut sehingga bisa mendisipkan diri untuk menghindari 'brain rot'. Berikut ini adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari 'brain rot'.
- Detoks Gawai
Kita bisa menggantikan sehari dengan tidak melakukan apapun, atau mengisi dengan hal-hal positif lainnya. Pergi ke pantai, berjemur di bawah sinar matahari pagi, berolahraga, bermain dengan hewan peliharaan, berkebun, membaca buku offline, bisa menjadi pilihan alternatif yang bisa dilakukan ketika detoks.
- Perbanyak Mendengarkan Podcast BerkualitasÂ
- Belajar Bahasa Asing
- Berkomunitas
Hari ini, banyak sekali manusia yang menjadi zombie, enggan bersosialisasi dan selalu pergi dengan gawai di tangan bahkan ke kamar mandi sekalipun. Fenomena ini terjadi di segala usia, di berbagai belahan dunia manapun. Untuk menghindari hal-hal semacam ini, kita perlu kembali belajar dengan masyarakat tradisional yang selalu berkelompok. Bagi masyarakat modern, kita bisa melibatkan diri pada berbagai agenda sosial, ikut menjadi relawan, atau sekadar berkomunitas. Tentu, berkomunitas disini dalam artian positif misalnya ikut komunitas pengajian, ikut komunitas membaca, ikut komunitas sastra dan lain sebagainya.
- Belajar Hal-hal Baru
- Menerapkan Gaya Hidup Mindfulness
- Mengatur Ulang Ritme Hidup
Mengatur ulang ritme hidup di sini berkaitan dengan jam biologis kita tidur, mengusahakan bangun dalam kondisi segar, menyadari makanan yang kita konsumsi setiap hari, pemenuhan cahaya matahari dan lain sebagainya. Dan yang paling penting yakni mengatur pikiran dan hati kita untuk terus dalam kondisi positif.
Referensi:
"Brain Rot", Selamat Datang di Era Pembusukan Otak
Negara Mana Saja yang Mengatur Regulasi Akses Media Sosial untuk Anak-anak? | tempo.co
Australia Larang Anak di Bawah 16 Tahun Main Medsos, Bagaimana Hukum Indonesia? Halaman all - Kompas.com
Waspada Gejala Brain Rot | Universitas Muhammadiyah Surakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI