Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gagap Slow Living

12 Januari 2025   21:45 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Anggrek (Sumber: Dokumen Pribadi)

Sayangnya hal semacam ini banyak terjadi. Padahal konsep 'slow living' yang sebenarnya ya membaur dengan masyarakat, dan alangkah baiknya jika mereka yang datang ke desa ikut melibatkan diri dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Bunga Anggrek (Sumber: Dokumen Pribadi)
Bunga Anggrek (Sumber: Dokumen Pribadi)

Selain itu, konsep 'slow living' juga banyak disalahpahami dengan bermalas-malasan. Padahal tujuan sebenarnya agar kita bisa lebih bijak mengelola waktu, bercengkrama dengan alam, bergerak, bersosialisasi dan keluar dari zona nyaman sosial media. Namun seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Ini adalah konsep yang gagal dipahami dan terdengar sekadar FOMO (Fear of Missing Out) takut ketinggalan trend.

Namun hanya karena sering gagal dipahami, hidup melambat tetap layak untuk dijalani, diterapkan. Namun akan menjadi salah ketika hidup melambat hanya karena FOMO, tidak menyadari esensi konsep hidup melambat dan berakhir dengan kontraproduktif. 

Karena itu, sebelum memutuskan hidup 'slow living', pastikan dulu konsekuensi yang ditimbulkan, karakter dan kebiasaan masyarakat lokal yang akan menjadi rekan untuk bertumbuh, serta infrastruktur umum seperti listrik, internet, transportasi, ruang publik dan lain sebagainya. 

Takutnya, konsep 'slow living' alih-alih membentuk kehidupan yang berkualitas justru menjadi semacam tempurung yang mengungkung produktifitas. Akan beda cerita jika pulang ke desa sudah dalam fase pensiun.

Sementara bagi kalian yang sudah terlanjur kepalang basah memutuskan untuk 'slow living' di desa, pastikan kalian masih tetap menjaga relasi dan terus berjejaring. Karena pada akhirnya hidup harus seimbang, pola pikir dan kebiasaan lama yang sudah terbentuk tentu tidak bisa tiba-tiba berubah, begitupun relasi pertemanan yang sudah terbangun tetap harus terjaga. 

Akan baik jika menerapkan konsep 'slow living', menikmati alam desa yang lestari dan menyehatkan, tetapi kita bisa memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitar.

Selain itu, perlu dipahami bahwa desa bukanlah tempat pelarian atas ketidaknyamanan kota dan konsep hidup 'slow living' bukanlah alasan untuk bermalas-malasan. 

Pergi ke desa, menerapkan konsep 'slow living' di sisi lain juga menuntut untuk 'hadir' di tengah masyarakat, bersama-sama menjaga alam agar tetap lestari dan menghasilkan kehidupan bersama yang berkualitas dan berkelanjutan.

Referensi:

Honore, C., 2004. In Praise of Slowness, Chalenging the Cult of Speed. s.l.:Harper-Collins ebooks. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun