Mohon tunggu...
churmatin nasoichah
churmatin nasoichah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

^-^

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Memasak Lemang ala Ibu-ibu Sangkilon, Padang Lawas Sumatera Utara

4 Agustus 2021   07:02 Diperbarui: 4 Agustus 2021   09:02 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pribadi, 2019

Ketika kita melakukan penelitian Arkeologi di lapangan, ada saja hal baru yang dapat kita jumpai. Keseruan-keseruan selalu saja muncul di lokasi situs disela-sela pikiran yang sedang berusaha merekonstruksi budaya masa lalunya.

Setiap melakukan penelitian Arkeologi terutama bila kita melakukan ekskavasi, biasanya banyak mendatangkan tenaga-tenaga lokal untuk membantu pekerjaan kita. 

Mereka kita datangkan dari penduduk yang tinggal di sekitar situs untuk dapat bekerja sama melakukan penggalian. Tentu di bawah pengawasan para peneliti Arkeolog. 

Keseruan-keseruan selalu terjadi di antara kita. Menjalin keakraban selama penelitian sangat penting untuk dilakukan agar kegiatan tidak terasa jenuh dan membosankan. Candaan-candaan atau hanya sekedar mendengarkan cerita-cerita mereka sudah menjadi hiburan tersendiri bagi kita.

Seperti saat kita sedang melakukan penelitian Arkeologi di Situs Biaro Sangkilon, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Kita banyak mendatangkan para tenaga lokal dari sekitar situs terutama para ibu-ibu untuk membantu ekskavasi. Saat ditanya, kemana bapak-bapaknya? Jawabnya mereka umumnya pergi ke hutan untuk mencari kayu, atau ke ladang untuk menderes karet. 

Meski ibu-ibu, mereka sangat rajin dan kuat untuk membantu kita melakukan ekskavasi. Fisik boleh wanita namun tenaga bisa disamakan dengan pria, itulah candaan mereka. Tidak saja melakukan ekskavasi, ada saja ide mereka agar kita semua dibuat nyaman di tempat penelitian.

Salah satunya adalah ide untuk membuat lemang di lokasi situs. Lemang adalah makanan yang dibuat dari beras ketan (pulut) yang dimasak di dalam seruas bambu yang dibakar. Beras ketan tersebut setelah dicuci tentunya, dicampur dengan santan dan sedikit garam dan gula agar lebih terasa nikmat, lalu dibungkus dalam daun pisang. Setelah itu dimasukkan kedalam ruas bambu, dan dibakar dengan api kurang lebih 30 menit.

Terkesan simpel ya. Namun jika kita melakukannya di alam terbuka yang jauh dari permukiman penduduk hal ini tentu agak sedikit kerepotan, setidaknya itu yang saya bayangkan. 

Tapi ternyata karena ibu-ibu tersebut melakukannya dengan bersama-sama, maka kerepotan yang seharusnya terjadi justru menjadi keseruan tersendiri bagi kita.

Beras ketan yang sudah dicuci tersebut lalu langsung dimasukkan ke dalam ruas bambu yang didalamnya sudah ada gulungan daun pisang. 

Bambu-bambu tersebut diambil dari pohon-pohon bambu yang ada di sekitar Biaro Sangkilon. Bagaimana ibu-ibu tersebut mencari dan mengambil bambu? wah saya sendiri tidak terbayangkan. Kebiasaan/skill memegang dan menggunakan parang tentu sangat diperlukan dalam situasi tersebut.

Sementara untuk daun pisang sebagai pelapis bambu, diambil dari pohon-pohon disekitar rumah mereka, karena di sekitar biaro/candi hanya ada pohon-pohon sawit. Oya, untuk mencuci beras ketan tersebut kebetulan saya tidak ikut menyaksikan. 

Air yang digunakan apakah dibawa langsung dari rumah ataukah diambil dari sungai besar yang mengalir di sekitar biaro/candi. Saya hanya berfikir jika air cucian dibawa dari rumah tentu akan sangat disayangkan. Untuk apa membawa air jauh-jauh dari rumah hanya sekedar untuk mencuci, bukankah lebih bermanfaat jika digunakan untuk minum. Apalagi cuaca yang begitu terik saat itu.

Di sela ibu-ibu yang sedang mengisikan beras ketan ke dalam bambu, ada ibu-ibu yang juga disibukkan dengan bara api agar tetap menyala dan juga ibu-ibu yang sedang memeras santan. Air santan yang sudah siap lalu dimasukkan ke dalam ceret/teko dan secara perlahan mulai dituangkan pada beras ketan dalam bambu yang sudah terpanggang di atas bara api. Perlahan-lahan santan dituangkan agar rata dan meresap sampai ke bagian bawah. 

Sambil terus menjaga bara api agar tetap menyala, air santan terus dituangkan ke dalam bambu. Saya juga ikut mencoba menuangkan santan tersebut. Dan ternyata, panas. Karena bara api yang terus menyala memang membuat sedikit kerepotan kala kita memasukkan air santan tersebut. Triknya, perlu menghindari arah angin agar terhindar dari panas asap api yang dirasakan. 

Setelah kurang lebih 30 menit dan bambu sudah mulai berwarna kecoklatan, lemang sudah siap untuk diangkat. Setelah diangkat perlu didiamkan beberapa saat agar kita mudah untuk membelahnya. Setelah bambu dibelah, lemang dengan bungkusan daun pisang pun kemudian dikupas dan dipotong. Hidangan lemang ala ibu-ibu Sangkilon siap disajikan dengan air gula merah. 

Setelah tim melakukan ekskavasi lalu berkumpul sejenak untuk menikmati lemang ala ibu-ibu Sangkilon tersebut. Rasanya, mmm... tentu nikmat sekali. Apalagi lokasi situs yang jauh dari permukiman penduduk, tentu makanan apapun akan terasa nikmat apalagi jika dinikmati bersama-sama. 

Salam budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun