Mohon tunggu...
churmatin nasoichah
churmatin nasoichah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

^-^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Metode Rubbing, Usaha Seorang Epigraf dalam Membaca Prasasti

2 Agustus 2021   07:59 Diperbarui: 2 Agustus 2021   08:16 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2014)

Dalam dunia Arkeologi, banyak hal menarik yang dapat dikaji dari suatu benda atau artefak yang ditemukan. Masing-masing artefak tersebut memiliki keunikan tersendiri dan cara penanganan yang berbeda. 

Misalnya, jika ada indikasi temuan artefak di dalam tanah, maka para arkeolog harus melakukan ekskavasi dengan berbagai metodenya. Jika ada indikasi temuan artefak (misal: shipwreck) di dasar laut maka para arkeolog harus melakukan penyelaman dan ekskavasi di dasar laut. Pun jika para arkeolog menemukan satu bangunan tua maka survei permukaan dan pendeskripsian detail lebih banyak dilakukan.

Dalam dunia Arkeologi, terdapat satu kajian yang menangani artefaktual  terkait sumber-sumber tertulis seperti prasasti atau naskah kuno. Kajian tersebut dinamakan Epigrafi. Segala temuan atau artefak yang memiliki indikasi adanya tulisan maka akan dikaji oleh kajian Epigrafi tersebut. 

Dalam kajian Epigrafi, terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan dalam mengumpulkan data penelitian. Ketika seorang Epigraf dalam melakukan penelitian menemukan satu prasasti, maka kecenderungannya ia akan melakukan pembacaan langsung di lokasi penemuan.

Namun tidak semua temuan prasasti dan naskah kuno tersebut dapat dilakukan pembacaan langsung di lokasi. Banyak faktor yang menyebabkannya. Kondisi temuan yang aus, cuaca yang tidak memungkinkan, waktu yang dibutuhkan, jarak yang relatif jauh, serta banyaknya artefak yang harus dibaca menjadi alasan utama mengapa para epigraf tidak bisa serta-merta menyelesaikan pembacaannya langsung di lokasi.

Bahkan jika sudah terbacapun, ada rasa ketidakpuasan dan ingin membacanya kembali. Alasan tersebut menjadikan para epigraf harus memikirkan cara lain agar temuannya dapat dibaca kembali tanpa harus kembali ke lokasi penemuan.

Pendokumentasisan menjadi hal yang penting bagi para epigraf. Pemotretan (digitalisasi) langsung terhadap temuan tersebut menjadi hal utama yang harus dilakukan. Selain itu, ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk melengkapi pendokumentasian tersebut di antaranya dengan cara abklatsch (penepukan), rubbing (penggosokan), dan casting (pengecoran).

 Dari ketiga metode tersebut yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara rubbing. Rubbing atau dalam bahasa Indonesianya diartikan sebagai gosok ini adalah cara yang sudah kita kenal sejak kecil. Dulu saat bermain uang-uangan kita sering melakukan rubbing dengan cara menggosokkan uang koin kita pada selembar kertas dengan menggunakan pensil. 

Hasilnya kita memiliki bentuk dan gambar yang sama persis dengan uang koin tersebut. Hasil rubbing kita jadikan uang-uangan sedangkan uang koin aslinya kita jajankan. Kita bisa membuat duplikat uang koin tersebut hingga berlembar-lembar kertas. 

Sama halnya dengan cara tersebut, metode rubbing ini bisa kita terapkan dalam dunia penelitian Epigrafi. Dengan bermodal kertas HVS kita bisa membuat duplikasi prasasti atau batu nisan yang kita temukan. Tentu hal ini tergantung pada bahan atau media dari prasasti tersebut.

Metode rubbing bisa kita lakukan pada media berbahan batu dan logam. Dan syarat utamanya media tersebut harus memiliki bidang datar. Sehingga jika diterapkan pada artefak berbentuk tiga dimensi seperti arca akan sulit untuk dilakukan. Beberapa temuan seperti prasasti dan koin kuno yang kecenderungan memiliki bidang datar menjadi artefak utama yang bisa dirubbing.

Rubbing menjadi pilihan pertama dalam usaha mendokumentasikan temuan epigrafi karena bahannya yang mudah didapatkan dan sangat murah, yaitu hanya bermodal kertas HVS dan pensil 2B* (*lebih disarankan). Para epigraf tinggal meletakkan kertas tersebut di atas prasasti lalu menggosok-gosokkan pensil tersebut di atas kertas hingga terlihat gambar duplikatnya. 

Jika prasasti berdiri vertikal, maka bisa ditambahkan lakban/isolasi agar kertas tersebut tidak mudah terlepas atau bergeser. Gambar yang muncul pada hasil rubbing adalah bagian tulisan yang menonjol. Sedangkan bagian dalamnya tidak muncul atau berbeda ketebalannya dengan bagian luar.

Meskipun metode rubbing ini sangat mudah untuk dilakukan, namun sisi lain juga memiliki kelemahan. Bidang prasasti yang lebar membuat proses rubbing mengalami sedikit kendala. Dengan ukuran HVS yang tidak begitu besar membuat para epigraf harus banyak menempel kertas sambungan agar bisa menjadi bagian utuh. Terkecuali jika kita bisa menemukan kertas berukuran lebar namun tipis seperti kertas HVS. 

Karena prosesnya dilakukan dengan cara menggosokkan pensil di atas kertas, maka memerlukan waktu yang lama dan cenderung melelahkan. Apalagi prasasti yang akan kita rubbing berukuran besar. Namun hal ini bisa kita atasi jika dilakukan oleh banyak orang.

Metode rubbing, maupun metode lainnya dalam kajian Epigrafi sangat diperlukan untuk menunjang para epigraf dalam melakukan proses pembacaan. Dengan cara ini diharapkan para epigraf mampu membaca lebih cermat lagi sehingga hasilnya dapat dianalisis dan diinterpretasi dengan lebih baik. Pemaknaan terhadap sumber sejarah menjadi lebih baik, setidaknya itu yang menjadi harapan para epigraf. Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun