Teringat akan penelitian yang pertama kali saya lakukan sekitar 15 tahun lalu (tahun 2005-2006) tepatnya ketika menyelesaikan skripsi saya di Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia berjudul "Prasasti Mrwak 1108 Saka (1186 Masehi)". Prasasti tersebut merupakan prasasti insitu tepatnya terletak di Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Secara toponimi prasasti tersebut berada di sebelah barat Gunung Wilis dan terdapat aliran sungai di sebelah utaranya yang masyarakat setempat menyebutnya sebagai 'kali catur'.
Alasan non ilmiah mengapa saya memilih skripsi dengan objek prasasti tersebut karena lokasinya yang tidak jauh dari rumah nenek saya di desa sebelahnya yaitu Desa Tumpukan. Bahkan sewaktu saya masih kecil ketika mengunjungi nenek di desa tersebut, kali catur adalah tempat favorit yang wajib saya kunjungi. Alasan non ilmiah tersebut membuat saya pada akhirya sering mengunjungi nenek dan semua keluarga yang tinggal disana.
Prasasti Mrwak ini berada di area pemakaman umum Desa Mruwak, tepatnya diletakkan permanen di bagian belakang dengan diberi cungkup. Sedangkan samping kanan kiri waktu itu masih berupa ladang dan area persawahan. Cukup jauh dari pemukiman penduduk.Â
Jujur, ketika saya penelitian kesana, saya selalu membawa rombongan yang terdiri dari para sepupu yang masih usia SD. Saya tidak pernah sendirian meneliti prasasti tersebut. Alasan utama ya karena saya ketakutan tentunya. Setiap kali saya kesana hampir memakan waktu kurang lebih 1 sampai 2 jam sehingga akan terasa aneh jika saya harus sendirian disana.Â
Prasasti tersebut sepertinya dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Hal ini terlihat sering adanya bunga-bunga yang diletakkan dibawah prasasti untuk sesajen. Tentu menambah ketakutan saya jika harus sendirian berada disana. Suara bising para sepupu membuat suasana terlihat santai dan tidak menakutkan. Padahal penelitian saya lakukan di siang hari.
Tidak mungkin prasasti Mrwak tersebut saya baca di lokasi. Butuh waktu dan pencermatan secara teliti jika harus membacanya langsung, apalagi kondisi prasasti yang sudah sangat aus. Lalu ilmu yang saya dapatkan sewaktu kuliah mulai saya terapkan. Saya membuat abklatsch atau cetakannya dari kertas daun singkong. Kala itu untuk mendapatkan kertas daun singkong sudah cukup sulit. Hanya toko alat tulis tertentu yang menjualnya.Â
Prasasti Mrwak ini memiliki 4 bidang, depan, belakang, dan samping kanan kiri. Semua bidang tersebut ditulisi dengan jumlah baris 13 dan 16 baris. Prasasti tersebut ditulis dengan menggunakan aksara Jawa kuno dan berbahasa Jawa kuno. Aksara Jawa kuno merupakan aksara yang kemudian berkembang menjadi aksara Jawa (hanacaraka) yang kita kenal saat ini.Â
Dilihat dari angka tahunnya prasasti ini ada pada abad 12 Masehi. Ada penyebutan nama Sri Jaya Prabhu, yang dalam proses interpretasinya dianalogikan sebagai Sri Digwijaya Sastraprabhu yang disebutkan dalam Prasasti Sirah Keting di Ponorogo, Jawa Timur (saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta).
Lantas bagaimana kondisi Prasasti Mrwak saat ini? setelah merampungkan skripsi, saya tidak lagi mengunjungi prasasti tersebut. Saya hanya singgah ke kepala desa sembari mengucapkan terima kasih karena sudah diizinkan melakukan penelitian di lokasi tersebut. Saya kemudian terbang dan bekerja di Medan sampai saat ini. Masih dengan bidang yang sama yaitu melakukan penelitian terkait aksara-aksara kuno, namun tentunya objek penelitian berkisar di wilayah Sumatera Utara dan wilayah sekitarnya. Jelas berbeda dengan karakter aksara yang saya jumpai di Jawa.
Pengamatan terhadap Prasasti Mrwak hanya saya lakukan melalui media sosial, konten video, dan blog-blog yang ada. Ternyata mulai banyak tulisan-tulisan yang mengulas prasasti tersebut. Meskipun cenderung masih mengulang atau mengutip dari hasil bacaan yang pernah saya lakukan waktu skripsi dulu, namun saya sangat senang ternyata masyarakat mulai ada perhatian terhadap tinggalan budayanya.Â
Berharap ada pembaharuan hasil bacaan lagi karena yakin pasti masih banyak kesalahan-kesalahan yang saya lakukan dalam proses pembacaan, apalagi kondisinya sudah sangat aus. Sehingga ada interpretasi lebih mendalam lagi terkait kesejarahan Madiun atapun kesejarahan Nusantara secara umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H