Mohon tunggu...
churmatin nasoichah
churmatin nasoichah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

^-^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Sejarah Nganjuk

1 Oktober 2018   11:22 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:00 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Sejarahwan berkisah ketika cerita telah usai'

Satu penggalan kalimat yang aku kutip pada bagian kata pengantar buku berjudul 'Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14' karya Ross E Dunn. Kalimat tersebut menurutku sangat mewakili karakter seorang sejarahwan dalam menghasilkan beberapa karyanya. Banyak hal di masa lalu yang dapat dikisahkan oleh seseorang sebagai refleksi diri untuk kehidupan selanjutnya. Dalam hal ini aku berfikiran tidak hanya terbatas pada sumber-sumber sejarah Nasional saja sebagaimana banyak kita jumpai pada beberapa teks buku sejarah, namun segala hal aspek kehidupan baik itu pribadi maupun yang bersifat global.

Pernah suatu ketika aku membayangkan menjadi seorang guru Sejarah. Ketika aku masuk pertama kali di kelas tersebut, tugas pertama yang akan aku berikan pada siswaku adalah menuliskan atau menceritakan kisah hidupnya atau keluarganya dalam bentuk esai. Tidak akan aku perintahkan menuliskan kisah Soekarno, R.A. Kartini atau Pangeran Diponegoro. Itu akan kujadikan tugas kesekian saja. Tugas kedua yang akan aku berikan adalah menuliskan atau menceritakan sejarah kota kelahirannya, bisa sejarah desanya, kecamatannya maupun kotanya. Kenapa itu harus aku lakukan? karena aku merasakan ada yang aneh dengan sebagian masyarakat kita. Kita sangat paham cerita tentang Candi Borobudur, atau kisah Napoleon dalam petualangannya. Tapi kita tak tahu sama sekali cerita tentang bagaimana kota kita sendiri berdiri. Jangan sampai kita pun lupa kita dilahirkan dari keturunan siapa. 

Seperti hal nya Kota Nganjuk yang merupakan kota kelahiran sekaligus kota yang membesarkanku sampai usia 19 tahun. Sampai aku lulus SMA, tak pernah sekalipun aku tahu bagaimana kisah kotaku ini ada. Mungkin saja tiba-tiba terbentuk begitu saja dengan tiba-tiba juga muncul masyarakat pembentuknya dengan Jawa medoknya. Namun ketika aku sudah hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studiku di Jurusan Arkeologi, aku tercengang. Ketika itu aku sedang melakukan kunjungan ke Museum Nasional, aku dikejutkan dengan sebuah prasasti batu dengan ukuran sangat besar. Setelah aku baca keterangan yang ada di bawahnya, aku kaget. Prasasti itu bernama 'Prasasti Anjuk Ladang'.

Prasasti Anjuk Ladang. Kata Nganjuk ternyata diambil dari kata Anjuk Ladang itu sendiri. Penamaan tersebut berdasarkan toponim yang telah disebutkan dalam isi prasasti. Prasasti yang dituliskan dengan cara dipahat menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno tersebut dituliskan pada tahun 859 Saka (menurut LC. Damais) atau 857 Saka (menurut Brandes). Perbedaan rentan tahun Saka ke Masehi berjarak 78 tahun atau dibuat sekitar abad 10 Masehi. Ya.... kota Nganjuk sudah ada sejak abad 10 Masehi. Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa Mpu Sindok memberikan warga Anjuk Ladang anugerah karena telah membantu menghalau serangan dari tentara Melayu (Sumatera) ke Mataram Kuno yang saat itu telah mencapai Anjuk Ladang. Anugerah itu berupa tanah Sima yaitu tanah yang dibebaskan pajak atau segala pungutan kerajaan dan saat itulah Mpu Sindok diangkat menjadi Raja. 

Prasasti Anjuk Ladang dulunya ditemukan di reruntuhan Candi Lor yang berlokasi di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Menurut de Casparis, Mpu Sindok lalu mendirikan bangunan suci sebagai tugu kemenangan karena telah berhasil menghalau musuh. Dan kemungkinan tugu tersebut adalah Candi Lor. Saat ini prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional, sedangkan Museum Anjuk Ladang sendiri hanya memiliki replika nya saja dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Aku bangga ketika melihat prasasti tersebut dipamerkan di Museum Nasional. Prasasti tersebut memiliki ukuran paling besar dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang lain, meskipun kondisinya sudah sangat aus dan beberapa aksaranya sudah mulai tidak terlihat lagi.

Informasi-informasi seperti itu tidak aku dapatkan dari guru Sejarah sewaktu aku bersekolah di Nganjuk. Justru aku dapatkan dibangku kuliah. Aku lebih disibukkan dengan sejarah Pithecantropus Erectus, Kerajaan Majapahit, ataupun serangan 11 Maret. Namun aku sendiri tak tahu menahu dengan sejarah kota kelahiranku. Ya... aku sadar mungkin karena teks buku pelajaran yang disediakan berisi tentang segala hal yang lebih bersifat umum atau Nasional. Aku tak menyalahkan itu. Justru itulah yang kini menjadi tugasku sesuai dengan tupoksiku untuk bisa mengenalkan kembali sejarah-sejarah lokal kepada anak didik agar mereka juga tak menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun