Mohon tunggu...
Dewi Chumaira
Dewi Chumaira Mohon Tunggu... -

Studiere an der UNESA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Obsesiku, Egoku

9 September 2012   14:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obsesiku, Egoku

EEP SAEFULLOH FATAH

Pada era globalisasi saat ini, berbagai eksplorasi cerpen bermunculan dengan sangat pesat. Nyaris seluruh media di Indonesia mulai dari koran,majalah,serta tabloid menyisipkan cerita pendek sebagai bagian yang cukup penting karena hal tersebut tidak terjadi di negara lain yang memperlihatkan karakteristik dan perkembangannya sendiri yang sangat khas.

Seperti pada cerpen “Lelaki Dari Neraka”, merupakan suatu cerminan dari masyarakat modern yang rela melakukan apapun demi meraih simpati dari masyarakat hingga tewujudnya keinginan mereka. Merelakan orang-orang yang dicintainya,keluarga,dan bahkan akhlak mereka. Tidak peduli bagaimana keadaan orang yang ditinggalkan. Pada cerpen ini,ditunjukkan kesedihan seorang wanita yang telah ditinggalkan seorang laki-laki demi mengejar kesuksesannya.

“Hari-hariku dan selepas Kongres dan Seminar Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung, Lelaki itu lenyap dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi sepotong pun kabar darinya. Yang kutahu bertahun-tahun kemudian,namanya kerap benar mengisi berita utama surat kabar. Nyaris setiap hari,wajahnya muncul dalam acara-acara pamer cakap televisi. Kejatuhan Soeharto,telah menaikkan namanya”.

Hal semacam ini tidak asing lagi bagi masyarakat karena sudah hampir menjadi tradisi bagi orang-orang berobsesi tinggi. Tapi sayangnya, setelah mereka melewati tahap demi tahap dan melihat hasil kerjanya buruk hingga mengalami kegagalan maka tidak heran jika orang-orang tersebut mengungkit kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada masyarakat bahkan meminta ganti rupiah.

Bisa dikatakan pada saat penulis mengarang cerpen ini, sesuai dengan keadaan masyarakat atau pemerintahan Indonesia pada saat itu. Kebanyakan para pejabat tinggi negara yang pada awalnya mempunyai obsesi untuk jadi salah satu pejabat negara, mereka berani mengumbar janji dengan memberikan pelayanan terbaik dan membaur dengan masyarakat terutama dalam kalangan remaja untuk meraih simpati yang sebesar-besarnya. Seperti dalam kutipan berikut.

“Tapi dagu itu tak lagi mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang dalam ingatanku memegang dahiku. “Tinggi sekali suhu tubuhmu. Panas sekali,”katanya lirih. Aku sungguh tak ingat persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter ditengah kota tak jauh dari fakultas ekonomi tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan seminar nasional hari itu. Yang aku ingat,dia selalu menjengukku ditiap jendela antarmata acara”.

Tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya,yang ada dibenak mereka hanyalah, pangkat, jabatan, kehormatan, dan harta. Setelah mereka sukses, senang, berhasil mencapai apa yang mereka impikan,barulah mereka ingat dengan keluarga dan orang-orang yang dicintainya.

“Dan sepi pagi hari rumah kami robek oleh dering telepon itu. Semacam rasa was-was yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon diruang tengah. “Selamat pagi Ibu, saya ajudan dari Bapak Presiden. Bapak berkenan untuk bicara”. Suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku. “Selamat pagi,Dyah. Ini saya, apa kabar?” Suara baritone itu menyeruak masuk kedalam gendang telinga kananku. Berat,dengan kalimat ringan dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek, menguak luka yang kupikir sudah benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka.

Sistem politik di Indonesia semakin lama semakin memburuk karena tidak adanya tanggung jawab dari individu. Masyarakat kecil mempercayakan kepada petinggi negara, tetapi orang-orang yang dipercaya malah menyepelehkan. Sangatlah susah merubah sikap ini karena semua tergantung pada jati diri masing-masing. Dari sini kita dapat mengambil hikmahnya bahwa meskipun kita tidak memiliki kedudukan, kita bisa melatih diri kita untuk bertanggungjawab dengan memulainya dari hal-hal kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun