Ketika Buddha masih sebagai pangeran mahkota kerajaan Kapilavastu, Beliau meninggalkan istana dan segenap kemewahannya untuk mencari panasea bagi derita makhluk hidup. Panasea, obat segala obat, obatnya obat, penyembuh dan penuntas pamungkas penderitaan kita alias P3K. Sang pangeran berhasil menemukan apa yang ia cari, berhasil tercerahkan sempurna menjadi Buddha lantas membagikan panasea itu kepada dunia melalui teladan dan pengajaran.
Aku merenungkan kehidupanku, dan melihat kehidupan yang lainnya. Makhluk apa pun yang terlahir di tataran alam indrawi ini berarti memiiki tubuh dan batin. Ketika kita memiliki tubuh+batin, kita menjadi sasaran empuk usia tua, penyakit dan kematian.
Dengan begitu, dapat diringkas di sini bahwa kelahiran adalah satu paket dengan usia tua, penyakit dan kematian. Dan dengan begitu pula, dapat disimpulkan di sini bahwa tanpa kelahiran maka tak ada usia tua, penyakit dan kematian. Serta dengan begitu, panasea bagi segala macam derita yang bersumber dari usia tua, penyakit dan kematian adalah: tidak terlahirkan kembali.
Aku menyadari dan juga pernah selintas tahu tentang semacam cibiran bagi Buddhisme dari mereka yang kurang paham atau skeptis sinis, yang berkata: ah, mengapa begitu takut pada usia tua, penyakit dan kematian? Hidup ini asyik-asyik saja, jangan terlalu serius, jangan murung, dooong.....
Jelas keliru mengatakan Buddhisme ajaran yang murung, tapi anggapan ini cukup umum di kalangan non-Buddhis yang kurang atau salah paham karena semata hanya mengetahui Buddha mengajarkan tentang dukkha (dan banyak membahasnya), tetapi mereka lupa atau tidak tahu Buddha juga sering membahas solusi dukkha karena memang hanya dua ini yang Beliau ajarkan kepada dunia.
Dan tambah lagi, pemahaman mereka tentang dukkha yang diajarkan Buddha sebagai kesunyataan pertama dari empat, hanya sebatas dukkha sebagai derita umum macam mengalami musibah, mengalami konflik dengan orang lain, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, dan sejenisnya. Padahal makna dukkha jauh lebih luas dari sekadar derita biasa. Dukkha itu ketidakmemuaskan, selalu merasa ada yang tidak sreg atau pas dalam kehidupan.
Aku teringat satu kisah tentang Ajahn Chah, guru meditasi terkenal dari Thailand.
Pada suatu ketika Ajahn Chah, setelah mengumpulkan derma makanan, beliau hanya mendapatkan semangkuk nasi polos tanpa lauk dan sayur dan mungkin dengan sedikit kuah, aku lupa persisnya. Menyaksikan kenyataan itu, Ajahn Chah mengeluh dalam hati, oh...andai saja aku punya garam,,,,
Itu adalah batin yang sedang mengalami dukkha, tapi bagi sebagian besar orang, batin yang mengeluh seperti itu tidak mampu ditangkap dan disadari sebagai dukkha dan malahan lebih sering dianggap sebagai kewajaran saja....wajar, kan, mengeluh dan berandai punya sejumput garam ketika kita hanya mendapatkan semangkuk nasi polos, biar kita bisa makan dengan nikmat?
Begitu kita lahir, kita telah mengambil paket usia tua+penyakit+kematian. Selama kita tumbuh menua dari bayi baru lahir menjadi kanak-kanak menjadi anak baru gede menjadi anak baru dewasa menjadi dewasa tua dan, kalau terus berumur panjang, akan menjadi kakek-nenek yang TOP (Tua, Ompong, Peot), pernahkah kita menghitung berapa banyak derita yang telah kita alami?
Aku teringat salah seorang sultan penguasa tertinggi imperium kuno dari Timur Tengah sana. Aku lupa nama sultan ini, tetapi menurut sejarah yang kubaca dia pernah mengatakan bahwa, sepanjang umurnya hingga saat itu, dia ingat HANYA ADA 14 HARI di mana dia benar-benar mengalami kebahagiaan.
Bayangkan, dia itu sultan berkuasa mutlak, kata-katanya adalah hukum, kemauannya adalah perintah tertinggi. Tetapi dia memgaku bahagianya sedikit saja. Pastilah yang dia maksud sedikit kebahagiaan itu bukan karena dia mengalami hidup yang sering kelaparan, derita kantong kering, kemauan tak terwujud, derita tidak punya rumah, tidak punya pakaian dan derita karena tidak punya istri (dia sultan yang lumrah bahkan punya harem, satu atau lebih kompleks istana sebagai tempat tinggal para selir/budak seks "koleksi"-nya).
Aku melihat ke dalam diriku, seorang jomlo aliran haha hihi hehe hoho. Aku menyadari pada banyak segi hidupku berjalan mulus-mulus saja. Banyak dari yang kuinginkan datang mewujud dari pelbagai arah dengan pelbagai macam cara yang baik dan benar, namun memang tidak semuanya seketika. Banyak hal yang layak kusyukuri, terutama kesempatan untuk mengembangkan kebajikan di jalan yang Buddha telah tunjukkan.
Tidak ada keluhan dan memang sesungguhnya aku sangat tak layak mengeluhkan apa pun. Tetapi pada waktu-waktu tertentu, terutama saat batinku cukup hening untuk eling, aku bisa merasakan ada semacam ketidakpuasan yang menyelinap diam-diam dan mulai mengompori diriku, mengarang-arang cerita drama ini drama itu, bahwa seandainya aku bisa begini begitu maka aku akan lebih bahagia lagi.
Pada momen=momen seperti itulah baru kusadari dengan sungguh-sungguh dan kupahami sepenuhnya mengapa manusia-manusia dewa macam para superkaya dkk itu, yang hiduponya secara duniawi (kuasa dan uang serta ketenaran dan pemenuhan hasrat) berada di puncak piramida manusia, tetap merasakan ketidakpuasan dan bahkan sebagiannya berakhir tragis.
Soalnya menjadi mudah dan sederhana andai salah satu pandangan ekstrim dari dua itu sungguhan benar: setelah kematian dari kehidupan yang kini kita tidak lagi mengalami apa pun, hilang lenyap mutlak, selesai. Namun Buddhisme menolak pandangan yang itu dan satu lagi kawannya. Menurut Buddhisme, kehidupan yang sekarang ini bukanlah yang pertama dan, selama para makhluk belum mencapai tataran tertinggi kesucian ketika 3 akar kejahatan telah benar-benar terpotong tuntas, bukan pula yang terakhir.
Para makhluk terus berputar-putar di 31 alam kehidupan dalam satu siklus yang disebut Samsara. Lahir untuk mati, mati untuk lahir lagi dengan paket derita yang sama namun beda-beda cerita, begitu terus selama keadaan tanpa kelahiran dan kematian belum dicapai.
Sekarang, mereka yang skeptis tadi mungkin akan kembali menggugat: apa bukti bahwa Samsara itu ada? Bisa saja Samsara hanya khayalan belaka dan sesungguhnya setelah kehidupan ini tidak ada apa-apa lagi. Mengapa harus begitu serius? Ayoooo....nikmati hidup!
Aku mengerti ketidakpercayaan mereka, karena sebagai makhluk awam pun keraguan seperti itu pernah pula melintasi benakku. Tapi kemudian aku merenungkan ajaran Buddha yang membahas "jiwa" manusia, tentang kesadaran, faktor-faktor mental dsb, yang oleh kalangan ilmuwan bidang psikologi dipuji dan dikagumi sebagai "kupasan dan paparan yang luar biasa rinci".
Aku menyadari tidaklah mungkin makhluk dengan fenomena mental dan kepribadian serumit homo sapiens ini bisa terbentuk hanya dari satu kehidupan tunggal. Kerumitan kejiwaan manusia, kasus-kasus kepribadian dan mental yang aneh-aneh serta sebagian darinya masih dianggap sebagai suatu anomali (karena terbatasnya pengetahuan sehingga belum bisa dijelaskan), itu PASTI dan LOGIS-nya terbentuk dari tak terhitung kali pengalaman lahir-hidup-mati di alam-alam manusia+hantu+setan+jin+binatang+dewa berulang kali tak terhitung banyaknya, lalu semua pengalaman-pengalaman itu tersimpan di "gudang bawah sadar" dan, pada suatu masa ketika situasi dan kondisinya tepat, sebagian atau secara kolektif terpicu muncul sebagai reaksi atas suatu kejadian.
Dan begitulah kita melihat orang-orang tertentu kemudian melakukan perbuatan ini atau itu yang, sebagian kasusnya, sangat mencengangkan tak tersangka-sangka bahwa dia atau mereka bisa bertindak seperti itu....
Chuang 150720
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H